Sabtu, 14 September 2013

BHINNEKA TUNGGAL IKA

BHINNEKA TUNGGAL IKA SEBAGAI SEMBOYAN NEGARA

A. BHINNEKA TUNGGAL IKA

1. Sejarah Bhinneka Tunggal Ika

Bunyi lengkap dari ungkapan Bhinneka Tunggal Ika dapat ditemukan dalam Kitab Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular pada abad XIV di masa Kerajaan Majapahit. Dalam kitab tersebut Mpu Tantular menulis “Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa” (Bahwa agama Buddha dan Siwa (Hindu) merupakan zat yang berbeda, tetapi nilai-nilai kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal. Terpecah belah, tetapi satu jua, artinya tak ada dharma yang mendua). Nama Mpu Tantular sendiri terdiri dari tan (tidak) dan tular (terpangaruh), dengan demikian, Mpu Tantular adalah seorang Mpu (cendekiawan, pemikir) yang berpendirian teguh, tidak mudah terpengaruh oleh siapa pun) (Suhandi Sigit, 2011).
Ungkapan dalam bahasa Jawa Kuno tersebut, secara harfiah mengandung arti bhinneka (beragam), tunggal (satu), ika (itu) yaitu beragam satu itu. Doktrin yang bercorak teologis ini semula dimaksudkan agar antara agama Buddha (Jina) dan agama Hindu (Siwa) dapat hidup berdampingan dengan damai dan harmonis, sebab hakikat kebenaran yang terkandung dalam ajaran keduanya adalah tunggal (satu). Mpu Tantular sendiri adalah penganut Buddha Tantrayana, tetapi merasa aman hidup dalam kerajaan Majapahit yang lebih bercorak Hindu (Ma’arif A. Syafii, 2011).
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika mulai menjadi pembicaraan terbatas antara Muhammad Yamin, Bung Karno, I Gusti Bagus Sugriwa dalam sidang-sidang BPUPKI sekitar dua setengah bulan sebelum Proklamasi (Kusuma R.M. A.B, 2004). Bahkan Bung Hatta sendiri mengatakan bahwa Bhinneka Tunggal Ika adalah ciptaan Bung Karno setelah Indonesia merdeka. Setelah beberapa tahun kemudian ketika merancang Lambang Negara Republik Indonesia dalam bentuk Garuda Pancasila, semboyan Bhinneka Tunggal Ika dimasukkan ke dalamnya.
Secara resmi lambang tersebut dipakai dalam Sidang Kabinet Republik Indonesia Serikat yang dipimpin Bung Hatta pada 11 Februari 1950 berdasarkan rancangan yang dibuat oleh Sultan Hamid II (1913-1978). Dalam sidang tersebut muncul beberapa usulan rancangan lambang negara, kemudian yang dipilih adalah usulan yang dibuat Sultan Hamid II dan Muhammad Yamin, dan rancangan dari Sultan Hamid yang kemudian ditetapkan (Yasni, Z, 1979).
Tulisan Mpu Tantular tersebut oleh para pendiri bangsa diberikan penafsiran baru karena dinilai relevan dengan keperluan strategis bangunan Indonesia merdeka yang terdiri dari beragam agama, kepercayaan, ideologi politik, etnis, bahasa, dan budaya. Dasar pemikiran tersebut yang menjadikan semboyan “keramat” ini terpampang melengkung dalam cengkeraman kedua kaki Burung Garuda. Burung Garuda dalam mitologi Hindu adalah kendaraan (wahana) Dewa Wishnu (Ma’arif A. Syafii, 2011).
Terkait dengan semboyan yang ditulis Mpu Tantular, dapat diketahui bahwa wawasan pemikiran pujangga besar yang hidup di zaman kejayaan Majapahit ini, terbukti telah melompat jauh ke depan. Nyatanya, semboyan tersebut hingga sekarang masih relevan terhadap perkembangan bangsa, negara dan bahkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat di era global. Dan Kekawin Sutasoma yang semula dipersembahkan kepada Raja Rajasanagara (Hayam Wuruk) adalah hasil perenungan dan kristalisasi pemikiran yang panjang, setidaknya membutuhkan waktu satu dasawarsa (sepuluh tahun) sedangkan Kekawin maksudnya adalah pembacaan ayat-ayat suci dalam agama Hindu-Budha. Kitab yang ditulis [Mpu Tantular] sekitar 1350-an, tujuh abad yang silam, ternyata di antara isi pesannya bergulir dalam proses membingkai negara baru Indonesia (Ma’arif A. Syafii, 2011).
Dalam proses perumusan konstitusi Indonesia, jasa Muh.Yamin harus dicatat sebagai tokoh yang pertama kali mengusulkan kepada Bung Karno agar Bhinneka Tunggal Ika dijadikan semboyan sesanti negara. Muh. Yamin sebagai tokoh kebudayaan dan bahasa memang dikenal sudah lama bersentuhan dengan segala hal yang berkenaan dengan kebesaran Majapahit (Prabaswara, I Made, 2003). Konon, di sela-sela Sidang BPUPKI antara Mei-Juni 1945, Muh. Yamin menyebut-nyebut ungkapan Bhinneka Tunggal Ika itu sendirian. Namun I Gusti Bagus Sugriwa (temannya dari Buleleng) yang duduk di sampingnya sontak menyambut sambungan ungkapan itu dengan “tan hana dharma mangrwa.” Sambungan spontan ini di samping menyenangkan Yamin, sekaligus menunjukkan bahwa di Bali ungkapan Bhinneka Tunggal Ika itu masih hidup dan dipelajari orang (Prabaswara, I Made, 2003). Meksipun Kitab Sutasoma ditulis oleh seorang sastrawan Buddha, pengaruhnya cukup besar di lingkungan masyarakat intelektual Hindu Bali.
Para pendiri bangsa Indonesia yang sebagian besar beragama Islam tampaknya cukup toleran untuk menerima warisan Mpu Tantular tersebut. Sikap toleran ini merupakan watak dasar suku-suku bangsa di Indonesia yang telah mengenal beragam agama, berlapis-lapis kepercayaan dan tradisi, jauh sebelum Islam datang ke Nusantara. Sekalipun dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit abad XV, pengaruh Hindu-Budha secara politik sudah sangat melemah, secara kultural pengaruh tersebut tetap lestari sampai hari ini (Ma’arif A. Syafii, 2011).

2. Bhinneka Tunggal Ika Dalam Konteks Indonesia

Dalam mengelola kemajemukan masyarakat, Indonesia memiliki pengalaman sejarah yang cukup panjang bila dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Negara Barat relatif masih baru mewacanakan hal ini, sebelum dikenal apa yang disebut dengan multikulturalisme di Barat, jauh berabad-abad yang lalu bangsa Indonesia sudah memiliki falsafah “Bhinneka Tunggal Ika”. Sejarah juga membuktikan bahwa semakin banyak suatu bangsa menerima warisan kemajemukan, maka semakin toleran bangsa tersebut terhadap kehadiran “yang lain”. Sebagai contoh, negara-negara Islam di wilayah Asia dan Timur Tengah, seperti Mesir, Palestina, dan Lebanon yang sejak awal menerima warisan kemajemukan masyarakatnya yang lebih heterogen, jauh lebih toleran dan ramah sikap keagamaannya bila dibandingkan dengan Arab Saudi, Yaman, dan Pakistan yang masyarakatnya sangat homogen dalam bidang agama (Noorsena, Bambang, 2011).
Negara Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai pulau Rote tampak berjajar pulau-pulau dengan komposisi dan kontruksi yang beragam. Di pulau-pulau tersebut berdiam penduduk dengan ragam suku bangsa, bahasa, budaya, agama, adat istiadat, dan keberagaman lainnya ditinjau dari berbagai aspek. Secara keseluruhan, pulau-pulau di Indonesia berjumlah 17.508 buah pulau besar dan kecil.
Di balik keindahan pulau-pulau yang dihiasi oleh flora dan fauna yang beraneka ragam, Indonesia juga memiliki kebhinnekaan dalam suku yang berjumlah lebih dari 1.128 (seribu seratus dua puluh delapan) suku bangsa dan lebih dari 700 bahasa daerah. Namun keberagaman suku bangsa dan bahasa tersebut, dapat disatukan dalam satu bangsa, bangsa Indonesia dan satu bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Merupakan suatu kebanggaan bagi bangsa Indonesia memiliki bahasa persatuan, karena bila melihat negara-negara lain ada yang tidak berhasil merumuskan bahasa nasional yang berasal dari bahasa aslinya sendiri, selain mengambil dari bahasa negara penjajahnya.
Keberagaman yang menjadi ciri bangsa Indonesia ditambah dengan letak posisi geografis yang sangat strategis. Kepulauan Indonesia berada di antara dua benua yaitu benua Asia dan benua Australia, diapit dua samudera yaitu samudera Pasifik dan samudera Hindia, dan terletak ditengah garis khatulistiwa, sehingga pergantian siang dan malam berjalan sesuai dengan siklus yang seimbang.
Budaya luhur bangsa Indonesia tidak terlepas dari kebudayaan yang tumbuh dan berkembang yang menjadi warisan dari jaman kerajaan Nusantara seperti Sriwijaya, Majapahit, Mataram Islam dan kerajaan-kerajaan lain yang juga melahirkan budaya tradisional yang telah berurat dan berakar sampai saat ini. Hal ini juga didukung antara lain dengan ditemukannya prasasti-prasasti bersejarah yang menggambarkan dinamika kehidupan bangsa Indonesia.
Sejak Indonesia merdeka, para pendiri bangsa dengan dukungan penuh seluruh rakyat Indonesia bersepakat mencantumkan kalimat Bhinneka Tunggal Ika pada lambang negara Garuda Pancasila yang ditulis dengan huruf latin pada pita putih yang dicengkeram burung garuda. Semboyan tersebut berasal dari bahasa Jawa Kuno yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu jua”. Kalimat itu sendiri diambil dari falsafah Nusantara yang sejak jaman Kerajaan Majapahit sudah dipakai sebagai semboyan pemersatu wilayah Nusantara. Dengan demikian, kesadaran akan hidup bersama di dalam keberagaman sudah tumbuh dan menjadi jiwa serta semangat anak-anak bangsa, jauh sebelum zaman moderen.
Realitas kehidupan berbangsa dan bernegara tidak terlepas dari sejarah masa lalu. Realita yang terjadi saat ini merupakan kelanjutan dari sejarah masa lalu dan yang akan terjadi di masa mendatang merupakan kelanjutan dari apa yang terjadi saat ini.
Bangsa Indonesia sudah berabad-abad hidup dalam kebersamaan dengan keberagaman dan perbedaan. Perbedaan warna kulit, bahasa, adat istiadat, agama, dan berbagai perbedaan lainya. Perbedaan tersebut dijadikan para leluhur sebagai modal untuk membangun bangsa ini menjadi sebuah bangsa yang besar. Sejarah mencatat bahwa seluruh anak bangsa yang berasal dari berbagai suku semua terlibat dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Semua ikut berjuang dengan mengambil peran masing-masing.
Ketika Sumpah Pemuda diikrarkan pada 28 Oktober 1928, di Gedung Indonesische Clubgebouw, Weltevreden (kini Gedung Sumpah Pemuda, Jalan Kramat 106 Jakarta) milik seorang Tionghoa bernama Sie Kok Liong, para tokoh pemuda dari berbagai etnik dan daerah menyadari sepenuhnya kekuatan yang dapat dibangun dari persatuan dan kesatuan nasional. Dengan Sumpah Pemuda mereka bersatu dan menegaskan persatuan dengan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa persatuan, yaitu Indonesia.
Dari sumpah tersebut tampak sekali bahwa mereka sendiri menyadari adanya perbedaan dari segi bahasa, namun kesepakatan tersebut merupakan capaian yang luar biasa dalam suasana penjajahan untuk membangun kesadaran untuk melepaskan egosentris kedaerahan dan bahasa daerah masing-masing.
Semangat dan gerakan untuk bersatu tersebut menjadi sumber inspirasi bagi munculnya gerakan yang terkonsolidasi untuk membebaskan diri dari penjajahan. Bangsa Indonesia kemudian memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Proklamasi kemerdekaan adalah ikrar untuk bersatu padu mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi wilayah dari Sabang sampai Merauke, yang merdeka, bersatu, dan berdaulat untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional. Dan dengan disepakatinya Pancasila sebagai dasar negara, semakin mengukuhkan komitmen pendiri negara dalam membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kesadaran terhadap tantangan dan cita-cita untuk membangun sebuah bangsa telah dipikirkan secara mendalam oleh para pendiri bangsa Indonesia. Keberagaman dan kekhasan sebagai sebuah realitas masyarakat dan lingkungan serta cita-cita untuk membangun bangsa dirumuskan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Ke-bhinneka-an merupakan realitas sosial, sedangkan ke-tunggal-ika-an adalah sebuah cita-cita kebangsaan. Wahana yang digagas sebagai “jembatan emas” untuk menuju pembentukan sebuah ikatan yang merangkul keberagaman dalam sebuah bangsa adalah sebuah negara yang merdeka dan berdaulat, Indonesia.
Negara yang menjadi wahana menuju cita-cita kebangsaan memerlukan dasar yang dapat mempertemukan berbagai kekhasan masyarakat Indonesia. Sementara Pancasila merupakan rumusan saripati seluruh filsafat kebangsaan yang mendasari pembangunan negara. Pancasila adalah kekayaan bangsa Indonesia yang tidak ternilai harganya dan merupakan rangkuman dari nilai-nilai luhur serta akar budaya bangsa Indonesia yang mencakup seluruh kebutuhan maupun hak-hak dasar manusia secara universal.
Pancasila mampu menjadi landasan dan falsafah hidup bangsa Indonesia yang majemuk baik dari segi agama, etnis, ras, bahasa, golongan dan kepentingan. Pancasila mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan bangsa Indonesia yang sangat majemuk. Oleh karena itu, upaya untuk terus mempertebal keyakinan terhadap pentingnya Pancasila bagi kehidupan bangsa Indonesia harus menjadi keyakinan dari setiap manusia Indonesia. Sebagai nilai dasar yang diyakini oleh bangsanya, Pancasila merupakan ideologi negara dan menjadi sumber kaidah hukum yang mengatur Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum diubah, pengakuan atas keberagaman dicantumkan pada Pasal 18 yang menyatakan bahwa Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sidang pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.
Penjelasan dari Pasal 18 menyatakan bahwa ‘Dalam territori’ Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbesturende landschappen dan Volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut’.

Seluruh kandungan Pasal 18 dan Penjelasannya merupakan sebuah prakondisi yang harus dipenuhi oleh Negara Republik Indonesia dalam menata hubungannya dengan berbagai kelompok masyarakat di Indonesia yang memiliki keistimewaan agar cita-cita membangun ke-tunggal-ika-an sebagai sebuah bangsa dapat tercapai.
Kesadaran akan kebhinnekaan tersebut, juga mewarnai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah diubah. Bahkan dalam rumusan undang-undang dasar tersebut, banyak sekali pengaturan tentang semangat kebhinnekaan dalam pasal-pasal.
Rumusan Pasal 6A ayat (3) yang menetapkan bahwa “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang men-dapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
Pertimbangan adanya ketentuan ini adalah untuk menyesuaikan dengan realitas bangsa Indonesia yang sangat majemuk, baik dari segi suku, agama, ras, budaya, maupun domisili karena persebaran penduduk tidak merata di seluruh wilayah negara yang terdiri atas pulau-pulau. Dengan demikian Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia adalah pilihan mayoritas rakyat Indonesia yang secara relatif tersebar di hampir semua wilayah. Hal itu sebagai wujud bahwa figur Presiden dan Wakil Presiden selain sebagai pim-pinan penyelenggara pemerintahan, juga merupakan simbol persatuan nasional.

Selanjutnya, dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B merupakan suatu pendekatan baru dalam mengelola negara. Di satu pihak ditegaskan tentang bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia dan di pihak lain ditampung kemajemukan bangsa sesuai dengan sasanti Bhinneka Tunggal Ika.
Pencantuman tentang pemerintah daerah di dalam perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dilatarbelakangi oleh kehendak untuk menampung semangat otonomi daerah dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat daerah. Hal itu dilakukan setelah belajar dari praktik ketatanegaraan pada era sebelumnya yang cenderung sentralistis, adanya penyeragaman sistem pemerintahan seperti dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, serta mengabaikan kepentingan daerah.
Akibat kebijakan yang cenderung sentralistis itu, pemerintah pusat menjadi sangat dominan dalam mengatur dan mengendalikan daerah sehingga daerah diperlakukan sebagai objek, bukan sebagai subjek yang mengatur dan mengurus daerahnya sendiri sesuai dengan potensi dan kondisi objektif yang dimilikinya.
Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi dasar hukum bagi pelaksanaan otonomi daerah yang dalam era reformasi menjadi salah satu agenda nasional. Melalui penerapan Bab tentang Pemerintahan Daerah diharapkan lebih mempercepat terwujudnya kemajuan daerah dan kesejahteraan rakyat di daerah, serta meningkatkan kualitas demokrasi di daerah. Semua ketentuan itu dirumuskan tetap, dalam kerangka menjamin dan memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga dirumuskan hubungan kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
Kesadaran akan kebhinnekaan juga dimuat dalam rumusan Pasal 25A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menetapkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.
Adanya ketentuan ini dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dimaksudkan untuk mengukuhkan kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini penting dirumuskan agar ada penegasan secara konstitusional batas wilayah Indonesia di tengah potensi perubahan batas geografis sebuah negara akibat gerakan separatisme, sengketa perbatasan antarnegara, atau pendudukan oleh negara asing.
Pengakuan akan keberagaman, juga tercantum pada Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menetapkan bahwa Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.
Dengan masuknya rumusan orang asing yang tinggal di Indonesia sebagai penduduk Indonesia, orang asing yang menetap di wilayah Indonesia mempunyai status hukum sebagai penduduk Indonesia. Sebagai penduduk, pada diri orang asing itu melekat hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku (berdasarkan prinsip yurisdiksi teritorial) sekaligus tidak boleh bertentangan dengan ketentuan hukum internasional yang berlaku umum.
Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditetapkan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan tersebut menggambarkan keanekaragaman agama di Indonesia.
Selanjutnya, dalam Pasal 32 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga diatur berdasarkan pada keanekaragaman budaya di Indonesia. Pasal ini merupakan landasan juridis bagi pengakuan atas keberadaan masyarakat adat. Yang pertama menegaskan tentang penghormatan terhadap identitas budaya dan hak masyarakat tradisional oleh Negara sedangkan yang kedua mengenai tugas Negara untuk menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya di tengah upaya Negara untuk memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia
Pentingnya keberagaman dalam pembangunan selanjutnya diperkukuh dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 36A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan bahwa Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Saat ini, semangat Bhinneka Tunggal Ika terasa luntur, banyak generasi muda yang tidak mengenal semboyan ini, bahkan banyak kalangan melupakan kata-kata ini, sehingga ikrar yang ditanamkan jauh sebelum Indonesia merdeka memudar, seperti pelita kehabisan minyak. Selain karena lunturnya semangat tersebut, adanya disparitas sosial ekonomi sebagai dampak dari pengaruh demokrasi. Akibat dari keadaan ini dikhawatirkan akan menimbulkan fanatisme asal daerah.
Dengan kembali menggelorakan semangat ke-bhinneka-an, perbedaan dipandang sebagai suatu kekuatan yang bisa mempersatukan bangsa dan negara dalam upaya mewujudkan cita-cita negara. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika menunjukan bahwa bangsa Indonesia sangat heterogen, dan karenanya toleransi menjadi kebutuhan mutlak. Di era modern ini, di ruang-ruang publik yang manakah homogenitas absolut dapat kita temukan? Tidak ada. Sebab, heterogenitas sudah merupakan keniscayaan hidup modern. Karena itulah, tak bisa tidak, kita harus belajar menerima dan menghargai pelbagai perbedaan.
Dewasa ini banyak faktor yang menyebabkan toleransi kian memudar dari kehidupan masyarakat. Di era globalisasi ini, banyak kecenderungan antar individu bersikap saling curiga yang apabila hal ini dibiarkan akan memecah persatuan dan kesatuan bangsa.
Itulah artinya toleransi, yang berasal dari kata “tollere” (bahasa Latin) yang berarti mengangkat, sikap yang memperlihatkan kesediaan tulus untuk mengangkat, memikul, menopang bersama perbedaan yang ada. Dengan demikian, toleransi meniscayakan sikap menghargai harus aktif dan dimulai dari diri sendiri. Jadi, dengan toleransi bukan orang lain yang terlebih dulu harus menghargai kita, melainkan kita sendirilah yang harus memulai untuk menghargai orang lain. Akan tetapi tidak berhenti di situ saja, sebab toleransi akan menjadi bermakna jika ia diikuti juga oleh pihak lain, sehingga sifatnya menjadi dua arah dan timbal-balik.

B. KEANEKARAGAMAN BANGSA INDONESIA

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk karena terdiri atas berbagai suku bangsa, adat istiadat, bahasa daerah, serta agama yang berbeda-beda. Keanekaragaman tersebut terdapat di berbagai wilayah yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Kenyataan yang tak dapat ditolak bahwa masyarakat dan bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat yang beragam budaya.
Keragaman budaya di Indonesia adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Dalam konteks pemahaman masyarakat majemuk, selain kebudayaan kelompok suku bangsa, masyarakat Indonesia juga terdiri dari berbagai kebudayaan daerah bersifat kewilayahan yang merupakan pertemuan dari berbagai kebudayaan kelompok suku bangsa yang ada di daerah tersebut. Dengan jumlah penduduk lebih dari 237.000.000 (dua ratus tiga puluh juta) jiwa yang tinggal tersebar di pulau-pulau di Indonesia (Badan Pusat Statistik tahun 2010). Dapat dikatakan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat keaneragaman budaya atau tingkat heterogenitas yang tinggi. Tidak saja keanekaragaman budaya kelompok suku bangsa tetapi juga keaneka ragaman budaya dalam konteks peradaban, tradisional hingga ke modern, dan kewilayahan.
Bangsa Indonesia memiliki lebih dari 1.128 (seribu seratus dua puluh delapan) suku bangsa. Setiap suku bangsa di Indonesia mempunyai kebiasaan hidup yang berbeda-beda. Demi persatuan dan kesatuan, keanekaragaman ini merupakan suatu kekuatan yang tangguh dan mempunyai keunggulan dibandingkan dengan negara lainnya. Dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, keragaman suku bangsa dan budaya merupakan salah satu modal dasar dalam pembangunan.
Para pendiri negara telah menyadari realitas tersebut sebagai landasan bagi pembangunan bangsa Indonesia. Atas dasar itulah mereka merumuskan bahwa negara Indonesia terdiri dari Zelfbesturende landschappen (daerah-daerah swapraja) dan Volksgemeenschappen (desa atau yang setingkat dengan itu) di dalam Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum perubahan). Langkah ini mempunyai dua implikasi: pertama, dengan menyerap kekhasan tiap kelompok masyarakat, negara Indonesia yang dibentuk berupaya menciptakan satu bangsa. Kedua, mengabaikan eksistensi kelompok-kelompok tersebut akan berimplikasi pada kegagalan cita-cita membangun satu bangsa Indonesia.
Upaya untuk membangun Indonesia yang beragam budaya hanya mungkin dapat terwujud apabila paham keragaman budaya menyebar luas dan dipahami pentingnya bagi bangsa Indonesia, serta adanya keinginan bangsa Indonesia pada tingkat nasional maupun lokal untuk mengadopsi dan menjadi pedoman hidupnya. Kesamaan pemahaman mengenai keragaman budaya serta upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkan cita-cita pembangunan dengan keberagaman akan menunjang kemajuan bangsa.
Secara umum kemajemukan Bangsa Indonesia tidak hanya ditandai oleh perbedaan-perbedaan horizontal, seperti yang lazim kita jumpai pada perbedaan suku, ras, bahasa, adat-istiadat, dan agama. Namun juga terdapat perbedaan vertikal, berupa capaian yang diperoleh melalui prestasi. Indikasi perbedaan tersebut tampak dalam strata sosial ekonomi, posisi politik, tingkat pendidikan, kualitas pekerjaan, dan kondisi permukiman.
Yang mencolok dari ciri kemajemukan masyarakat Indonesia adalah penekanan pada pentingnya kesukubangsaan yang terwujud dalam komunitas-komunitas suku bangsa, dan digunakannya kesukubangsaan sebagai acuan utama bagi jati diri individu.
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan “negara persatuan” dalam arti sebagai negara yang warga negaranya erat bersatu, yang mengatasi segala paham perseorangan ataupun golongan yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di hadapan hukum dan pemerintahan dengan tanpa kecuali. Dalam negara persatuan itu, otonomi individu diakui kepentingannya secara seimbang dengan kepentingan kolektivitas rakyat. Kehidupan orang perorang ataupun golongan-golongan dalam masyarakat diakui sebagai individu dan kolektivitas warga negara, terlepas dari ciri-ciri khusus yang dimiliki seseorang atau segolongan orang atas dasar kesukuan dan keagamaan dan lain-lain, yang membuat seseorang atau segolongan orang berbeda dari orang atau golongan lain dalam masyarakat (Asshiddiqie, Jimly, 2005).
Prinsip demokrasi hanya mungkin hidup dan berkembang dalam sebuah masyarakat sipil yang terbuka, yang warganya mempunyai toleransi terhadap perbedaan-perbedaan dalam bentuk apa pun, karena adanya kesetaraan derajat kemanusiaan yang saling menghormati, dan diatur oleh hukum yang adil dan beradab yang mendorong kemajuan serta menjamin kesejahteraan hidup warganya.
Masyarakat terbuka harus membuka diri bagi pembaharuan dan perbaikan, berorientasi ke depan, selalu mempertimbangkan globalisasi yang membawa serta kemajuan teknologi, dan berpijak pada kenyataan. Dalam menyikapi pluralitas bangsa, pendekatan sentralistik dan totalitarian harus ditinggalkan.
Negara persatuan mengakui keberadaan masyarakat warga negara karena kewargaannya. Dengan demikian, negara persatuan itu mempersatukan seluruh bangsa Indonesia dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena prinsip kewargaan yang berkesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Negara Persatuan tidak boleh dipahami sebagai konsepsi atau cita negara yang bersifat totalitarian ataupun otoritarian yang mengabaikan pluralisme dan menafikan otonomi individu rakyat yang dijamin hak-hak dan kewajiban asasinya dalam Undang-Undang Dasar (Asshiddiqie, Jimly, 2005).
Dalam konteks bentuk negara, meskipun bangsa Indonesia memilih bentuk negara kesatuan, di dalamnya terselenggara suatu mekanisme yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya keragaman antardaerah di seluruh tanah air. Kekayaan alam dan budaya antardaerah tidak boleh diseragamkan dalam struktur Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan perkataan lain, bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia diselenggarakan dengan jaminan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah-daerah untuk berkembang sesuai dengan potensi dan kekayaan yang dimilikinya masing-masing, tentunya dengan dorongan, dukungan, dan bantuan yang diberikan oleh Pemerintah pusat (Asshiddiqie, Jimly, 2005).
Prinsip persatuan sangat dibutuhkan karena keragaman suku bangsa, agama, dan budaya yang diwarisi oleh bangsa Indonesia dalam sejarah mengharuskan bangsa Indonesia bersatu. Keragaman itu merupakan kekayaan yang harus dipersatukan, tetapi tidak boleh diseragamkan, dengan demikian, prinsip persatuan Indonesia tidak dipersempit maknanya.
Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan yang mengungkapkan persatuan dan kesatuan yang berasal dari keanekaragaman. Walaupun terdiri atas berbagai suku yang beranekaragam budaya daerah, tetap satu bangsa Indonesia, memiliki bahasa dan tanah air yang sama, yaitu bahasa Indonesia dan tanah air Indonesia. Begitu juga bendera kebangsaan merah putih sebagai lambang identitas bangsa dan bersatu padu di bawah falsafah serta dasar negara Pancasila. Bangsa Indonesia harus bersatu padu agar manjadi satu kesatuan yang bulat dan utuh. Untuk dapat bersatu harus memiliki pedoman yang dapat menyeragamkan pandangan dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, akan terjadi persamaan langkah dan tingkah laku bangsa Indonesia. Pedoman tersebut adalah Pancasila. Membiasakan bersahabat dan saling membantu dengan sesama warga yang ada di lingkungan, seperti gotong royong akan dapat memudahkan tercapainya persatuan dan kesatuan bangsa. Bangsa Indonesia harus merasa satu, senasib sepenanggungan, sebangsa, dan sehati dalam kekuatan wilayah nasional dengan segala isi dan kekayaannya merupakan satu kesatuan wilayah.
Dalam mengembangkan sikap menghormati terhadap keragaman suku bangsa, dapat terlihat dari sifat dan sikap dalam kehidupan sehari-hari, di antaranya adalah sebagai berikut:
a. kehidupan bermasyarakat tercipta kerukunan seperti halnya dalam sebuah keluarga.
b. antara warga masyarakat terdapat semangat tolong menolong, kerjasama untuk menyelesaikan suatu masalah, dan kerja sama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
c. dalam menyelesaikan urusan bersama selalu diusahakan dengan melalui musyawarah.
d. terdapat kesadaran dan sikap yang mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.


Sumber    :   Buku “Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara”
                     Bab V   Halaman 169 s/d 188.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar