BHINNEKA TUNGGAL IKA SEBAGAI SEMBOYAN NEGARA
A. BHINNEKA TUNGGAL IKA
1. Sejarah Bhinneka Tunggal Ika
Bunyi lengkap dari ungkapan Bhinneka Tunggal Ika dapat
ditemukan dalam Kitab Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular pada abad
XIV di masa Kerajaan Majapahit. Dalam kitab tersebut Mpu Tantular
menulis “Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena
parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika
tan hana dharma mangrwa” (Bahwa agama Buddha dan Siwa (Hindu) merupakan zat
yang berbeda, tetapi nilai-nilai kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah
tunggal. Terpecah belah, tetapi satu jua, artinya tak ada dharma yang mendua).
Nama Mpu Tantular sendiri terdiri dari tan (tidak) dan tular (terpangaruh),
dengan demikian, Mpu Tantular adalah seorang Mpu (cendekiawan, pemikir) yang
berpendirian teguh, tidak mudah terpengaruh oleh siapa pun) (Suhandi Sigit,
2011).
Ungkapan dalam bahasa Jawa Kuno tersebut, secara harfiah
mengandung arti bhinneka (beragam), tunggal (satu), ika (itu)
yaitu beragam satu itu. Doktrin yang bercorak teologis ini semula dimaksudkan
agar antara agama Buddha (Jina) dan agama Hindu (Siwa) dapat hidup berdampingan
dengan damai dan harmonis, sebab hakikat kebenaran yang terkandung dalam ajaran
keduanya adalah tunggal (satu). Mpu Tantular sendiri adalah penganut Buddha
Tantrayana, tetapi merasa aman hidup dalam kerajaan Majapahit yang lebih
bercorak Hindu (Ma’arif A. Syafii, 2011).
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika mulai menjadi pembicaraan
terbatas antara Muhammad Yamin, Bung Karno, I Gusti Bagus Sugriwa dalam
sidang-sidang BPUPKI sekitar dua setengah bulan sebelum Proklamasi (Kusuma R.M.
A.B, 2004). Bahkan Bung Hatta sendiri mengatakan bahwa Bhinneka Tunggal Ika
adalah ciptaan Bung Karno setelah Indonesia merdeka. Setelah beberapa tahun
kemudian ketika merancang Lambang Negara Republik Indonesia dalam bentuk Garuda
Pancasila, semboyan Bhinneka Tunggal Ika dimasukkan ke dalamnya.
Secara resmi lambang tersebut dipakai dalam Sidang Kabinet
Republik Indonesia Serikat yang dipimpin Bung Hatta pada 11 Februari 1950
berdasarkan rancangan yang dibuat oleh Sultan Hamid II (1913-1978). Dalam
sidang tersebut muncul beberapa usulan rancangan lambang negara, kemudian yang
dipilih adalah usulan yang dibuat Sultan Hamid II dan Muhammad Yamin, dan
rancangan dari Sultan Hamid yang kemudian ditetapkan (Yasni, Z, 1979).
Tulisan Mpu Tantular tersebut oleh para pendiri bangsa
diberikan penafsiran baru karena dinilai relevan dengan keperluan strategis
bangunan Indonesia merdeka yang terdiri dari beragam agama, kepercayaan,
ideologi politik, etnis, bahasa, dan budaya. Dasar pemikiran tersebut yang
menjadikan semboyan “keramat” ini terpampang melengkung dalam cengkeraman kedua
kaki Burung Garuda. Burung Garuda dalam mitologi Hindu adalah kendaraan (wahana)
Dewa Wishnu (Ma’arif A. Syafii, 2011).
Terkait dengan semboyan yang ditulis Mpu Tantular, dapat
diketahui bahwa wawasan pemikiran pujangga besar yang hidup di zaman kejayaan
Majapahit ini, terbukti telah melompat jauh ke depan. Nyatanya, semboyan
tersebut hingga sekarang masih relevan terhadap perkembangan bangsa, negara dan
bahkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat di era global. Dan Kekawin
Sutasoma yang semula dipersembahkan kepada Raja Rajasanagara (Hayam Wuruk)
adalah hasil perenungan dan kristalisasi pemikiran yang panjang, setidaknya
membutuhkan waktu satu dasawarsa (sepuluh tahun) sedangkan Kekawin maksudnya
adalah pembacaan ayat-ayat suci dalam agama Hindu-Budha. Kitab yang ditulis
[Mpu Tantular] sekitar 1350-an, tujuh abad yang silam, ternyata di antara isi
pesannya bergulir dalam proses membingkai negara baru Indonesia (Ma’arif A.
Syafii, 2011).
Dalam proses perumusan konstitusi Indonesia, jasa Muh.Yamin
harus dicatat sebagai tokoh yang pertama kali mengusulkan kepada Bung Karno
agar Bhinneka Tunggal Ika dijadikan semboyan sesanti negara. Muh.
Yamin sebagai tokoh kebudayaan dan bahasa memang dikenal sudah lama bersentuhan
dengan segala hal yang berkenaan dengan kebesaran Majapahit (Prabaswara, I
Made, 2003). Konon, di sela-sela Sidang BPUPKI antara Mei-Juni 1945, Muh. Yamin
menyebut-nyebut ungkapan Bhinneka Tunggal Ika itu sendirian. Namun I
Gusti Bagus Sugriwa (temannya dari Buleleng) yang duduk di sampingnya sontak
menyambut sambungan ungkapan itu dengan “tan hana dharma mangrwa.”
Sambungan spontan ini di samping menyenangkan Yamin, sekaligus menunjukkan
bahwa di Bali ungkapan Bhinneka Tunggal Ika itu masih hidup dan
dipelajari orang (Prabaswara, I Made, 2003). Meksipun Kitab Sutasoma ditulis
oleh seorang sastrawan Buddha, pengaruhnya cukup besar di lingkungan masyarakat
intelektual Hindu Bali.
Para pendiri bangsa Indonesia yang sebagian besar beragama
Islam tampaknya cukup toleran untuk menerima warisan Mpu Tantular tersebut.
Sikap toleran ini merupakan watak dasar suku-suku bangsa di Indonesia yang
telah mengenal beragam agama, berlapis-lapis kepercayaan dan tradisi, jauh
sebelum Islam datang ke Nusantara. Sekalipun dengan runtuhnya Kerajaan
Majapahit abad XV, pengaruh Hindu-Budha secara politik sudah sangat melemah,
secara kultural pengaruh tersebut tetap lestari sampai hari ini (Ma’arif A. Syafii,
2011).
2. Bhinneka Tunggal Ika Dalam Konteks Indonesia
Dalam mengelola kemajemukan masyarakat, Indonesia memiliki
pengalaman sejarah yang cukup panjang bila dibandingkan dengan bangsa-bangsa
lain. Negara Barat relatif masih baru mewacanakan hal ini, sebelum dikenal apa
yang disebut dengan multikulturalisme di Barat, jauh berabad-abad yang
lalu bangsa Indonesia sudah memiliki falsafah “Bhinneka Tunggal Ika”. Sejarah
juga membuktikan bahwa semakin banyak suatu bangsa menerima warisan
kemajemukan, maka semakin toleran bangsa tersebut terhadap kehadiran “yang
lain”. Sebagai contoh, negara-negara Islam di wilayah Asia dan Timur Tengah,
seperti Mesir, Palestina, dan Lebanon yang sejak awal menerima warisan
kemajemukan masyarakatnya yang lebih heterogen, jauh lebih toleran dan ramah
sikap keagamaannya bila dibandingkan dengan Arab Saudi, Yaman, dan Pakistan
yang masyarakatnya sangat homogen dalam bidang agama (Noorsena, Bambang, 2011).
Negara Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke
dan dari Miangas sampai pulau Rote tampak berjajar pulau-pulau dengan komposisi
dan kontruksi yang beragam. Di pulau-pulau tersebut berdiam penduduk dengan
ragam suku bangsa, bahasa, budaya, agama, adat istiadat, dan keberagaman
lainnya ditinjau dari berbagai aspek. Secara keseluruhan, pulau-pulau di
Indonesia berjumlah 17.508 buah pulau besar dan kecil.
Di balik keindahan pulau-pulau yang dihiasi oleh flora dan
fauna yang beraneka ragam, Indonesia juga memiliki kebhinnekaan dalam suku yang
berjumlah lebih dari 1.128 (seribu seratus dua puluh delapan) suku bangsa dan
lebih dari 700 bahasa daerah. Namun keberagaman suku bangsa dan bahasa
tersebut, dapat disatukan dalam satu bangsa, bangsa Indonesia dan satu bahasa
persatuan, bahasa Indonesia. Merupakan suatu kebanggaan bagi bangsa Indonesia
memiliki bahasa persatuan, karena bila melihat negara-negara lain ada yang
tidak berhasil merumuskan bahasa nasional yang berasal dari bahasa aslinya
sendiri, selain mengambil dari bahasa negara penjajahnya.
Keberagaman yang menjadi ciri bangsa Indonesia ditambah
dengan letak posisi geografis yang sangat strategis. Kepulauan Indonesia berada
di antara dua benua yaitu benua Asia dan benua Australia, diapit dua samudera
yaitu samudera Pasifik dan samudera Hindia, dan terletak ditengah garis
khatulistiwa, sehingga pergantian siang dan malam berjalan sesuai dengan siklus
yang seimbang.
Budaya luhur bangsa Indonesia tidak terlepas dari kebudayaan
yang tumbuh dan berkembang yang menjadi warisan dari jaman kerajaan Nusantara
seperti Sriwijaya, Majapahit, Mataram Islam dan kerajaan-kerajaan lain yang
juga melahirkan budaya tradisional yang telah berurat dan berakar sampai saat
ini. Hal ini juga didukung antara lain dengan ditemukannya prasasti-prasasti
bersejarah yang menggambarkan dinamika kehidupan bangsa Indonesia.
Sejak Indonesia merdeka, para pendiri bangsa dengan dukungan
penuh seluruh rakyat Indonesia bersepakat mencantumkan kalimat Bhinneka Tunggal
Ika pada lambang negara Garuda Pancasila yang ditulis dengan huruf latin pada
pita putih yang dicengkeram burung garuda. Semboyan tersebut berasal dari
bahasa Jawa Kuno yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu jua”. Kalimat itu
sendiri diambil dari falsafah Nusantara yang sejak jaman Kerajaan Majapahit
sudah dipakai sebagai semboyan pemersatu wilayah Nusantara. Dengan demikian,
kesadaran akan hidup bersama di dalam keberagaman sudah tumbuh dan menjadi jiwa
serta semangat anak-anak bangsa, jauh sebelum zaman moderen.
Realitas kehidupan berbangsa dan bernegara tidak terlepas
dari sejarah masa lalu. Realita yang terjadi saat ini merupakan kelanjutan dari
sejarah masa lalu dan yang akan terjadi di masa mendatang merupakan kelanjutan
dari apa yang terjadi saat ini.
Bangsa Indonesia sudah berabad-abad hidup dalam kebersamaan
dengan keberagaman dan perbedaan. Perbedaan warna kulit, bahasa, adat istiadat,
agama, dan berbagai perbedaan lainya. Perbedaan tersebut dijadikan para leluhur
sebagai modal untuk membangun bangsa ini menjadi sebuah bangsa yang besar.
Sejarah mencatat bahwa seluruh anak bangsa yang berasal dari berbagai suku
semua terlibat dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Semua ikut berjuang
dengan mengambil peran masing-masing.
Ketika Sumpah Pemuda diikrarkan pada 28 Oktober 1928, di
Gedung Indonesische Clubgebouw, Weltevreden (kini Gedung Sumpah Pemuda, Jalan
Kramat 106 Jakarta) milik seorang Tionghoa bernama Sie Kok Liong, para tokoh
pemuda dari berbagai etnik dan daerah menyadari sepenuhnya kekuatan yang dapat
dibangun dari persatuan dan kesatuan nasional. Dengan Sumpah Pemuda mereka
bersatu dan menegaskan persatuan dengan satu tanah air, satu bangsa, dan satu
bahasa persatuan, yaitu Indonesia.
Dari sumpah tersebut tampak sekali bahwa mereka sendiri menyadari
adanya perbedaan dari segi bahasa, namun kesepakatan tersebut merupakan capaian
yang luar biasa dalam suasana penjajahan untuk membangun kesadaran untuk
melepaskan egosentris kedaerahan dan bahasa daerah masing-masing.
Semangat dan gerakan untuk bersatu tersebut menjadi sumber
inspirasi bagi munculnya gerakan yang terkonsolidasi untuk membebaskan diri
dari penjajahan. Bangsa Indonesia kemudian memproklamasikan kemerdekaannya pada
17 Agustus 1945. Proklamasi kemerdekaan adalah ikrar untuk bersatu padu
mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi wilayah dari Sabang
sampai Merauke, yang merdeka, bersatu, dan berdaulat untuk mewujudkan cita-cita
dan tujuan nasional. Dan dengan disepakatinya Pancasila sebagai dasar negara,
semakin mengukuhkan komitmen pendiri negara dalam membentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Kesadaran terhadap tantangan dan cita-cita untuk membangun
sebuah bangsa telah dipikirkan secara mendalam oleh para pendiri bangsa
Indonesia. Keberagaman dan kekhasan sebagai sebuah realitas masyarakat dan
lingkungan serta cita-cita untuk membangun bangsa dirumuskan dalam semboyan
Bhinneka Tunggal Ika. Ke-bhinneka-an merupakan realitas sosial, sedangkan
ke-tunggal-ika-an adalah sebuah cita-cita kebangsaan. Wahana yang digagas
sebagai “jembatan emas” untuk menuju pembentukan sebuah ikatan yang merangkul
keberagaman dalam sebuah bangsa adalah sebuah negara yang merdeka dan
berdaulat, Indonesia.
Negara yang menjadi wahana menuju cita-cita kebangsaan
memerlukan dasar yang dapat mempertemukan berbagai kekhasan masyarakat
Indonesia. Sementara Pancasila merupakan rumusan saripati seluruh filsafat
kebangsaan yang mendasari pembangunan negara. Pancasila adalah kekayaan bangsa
Indonesia yang tidak ternilai harganya dan merupakan rangkuman dari nilai-nilai
luhur serta akar budaya bangsa Indonesia yang mencakup seluruh kebutuhan maupun
hak-hak dasar manusia secara universal.
Pancasila mampu menjadi landasan dan falsafah hidup bangsa
Indonesia yang majemuk baik dari segi agama, etnis, ras, bahasa, golongan dan
kepentingan. Pancasila mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan
bangsa Indonesia yang sangat majemuk. Oleh karena itu, upaya untuk terus
mempertebal keyakinan terhadap pentingnya Pancasila bagi kehidupan bangsa
Indonesia harus menjadi keyakinan dari setiap manusia Indonesia. Sebagai nilai
dasar yang diyakini oleh bangsanya, Pancasila merupakan ideologi negara dan
menjadi sumber kaidah hukum yang mengatur Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum diubah, pengakuan atas
keberagaman dicantumkan pada Pasal 18 yang menyatakan bahwa Pembagian daerah
Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya
ditetapkan dengan Undang-Undang, dengan memandang dan mengingat dasar
permusyawaratan dalam sidang pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam
daerah-daerah yang bersifat istimewa.
Penjelasan dari Pasal 18 menyatakan
bahwa ‘Dalam territori’ Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250
Zelfbesturende landschappen dan Volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan
Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya.
Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap
sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati
kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang
mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut’.
Seluruh kandungan Pasal 18 dan Penjelasannya merupakan sebuah
prakondisi yang harus dipenuhi oleh Negara Republik Indonesia dalam menata
hubungannya dengan berbagai kelompok masyarakat di Indonesia yang memiliki
keistimewaan agar cita-cita membangun ke-tunggal-ika-an sebagai sebuah bangsa
dapat tercapai.
Kesadaran akan kebhinnekaan tersebut, juga mewarnai
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah diubah. Bahkan
dalam rumusan undang-undang dasar tersebut, banyak sekali pengaturan tentang
semangat kebhinnekaan dalam pasal-pasal.
Rumusan Pasal 6A ayat (3) yang menetapkan bahwa “Pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden yang men-dapatkan suara lebih dari lima puluh
persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh
persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah
provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
Pertimbangan adanya ketentuan ini adalah untuk menyesuaikan
dengan realitas bangsa Indonesia yang sangat majemuk, baik dari segi suku,
agama, ras, budaya, maupun domisili karena persebaran penduduk tidak merata di
seluruh wilayah negara yang terdiri atas pulau-pulau. Dengan demikian Presiden
dan Wakil Presiden Republik Indonesia adalah pilihan mayoritas rakyat Indonesia
yang secara relatif tersebar di hampir semua wilayah. Hal itu sebagai wujud
bahwa figur Presiden dan Wakil Presiden selain sebagai pim-pinan penyelenggara
pemerintahan, juga merupakan simbol persatuan nasional.
Selanjutnya, dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B merupakan suatu
pendekatan baru dalam mengelola negara. Di satu pihak ditegaskan tentang bentuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan di pihak lain ditampung kemajemukan
bangsa sesuai dengan sasanti Bhinneka Tunggal Ika.
Pencantuman tentang pemerintah daerah di dalam perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dilatarbelakangi oleh
kehendak untuk menampung semangat otonomi daerah dalam memperjuangkan
kesejahteraan masyarakat daerah. Hal itu dilakukan setelah belajar dari praktik
ketatanegaraan pada era sebelumnya yang cenderung sentralistis, adanya
penyeragaman sistem pemerintahan seperti dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa, serta mengabaikan kepentingan daerah.
Akibat kebijakan yang cenderung sentralistis itu, pemerintah
pusat menjadi sangat dominan dalam mengatur dan mengendalikan daerah sehingga
daerah diperlakukan sebagai objek, bukan sebagai subjek yang mengatur dan
mengurus daerahnya sendiri sesuai dengan potensi dan kondisi objektif yang
dimilikinya.
Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menjadi dasar hukum bagi pelaksanaan otonomi daerah yang dalam era
reformasi menjadi salah satu agenda nasional. Melalui penerapan Bab tentang
Pemerintahan Daerah diharapkan lebih mempercepat terwujudnya kemajuan daerah
dan kesejahteraan rakyat di daerah, serta meningkatkan kualitas demokrasi di
daerah. Semua ketentuan itu dirumuskan tetap, dalam kerangka menjamin dan
memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga dirumuskan hubungan
kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dengan memperhatikan
kekhususan dan keragaman daerah.
Kesadaran akan kebhinnekaan juga dimuat dalam rumusan Pasal
25A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menetapkan
bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang
berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan
dengan undang-undang.
Adanya ketentuan ini dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dimaksudkan untuk mengukuhkan kedaulatan wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini penting dirumuskan agar ada
penegasan secara konstitusional batas wilayah Indonesia di tengah potensi
perubahan batas geografis sebuah negara akibat gerakan separatisme, sengketa
perbatasan antarnegara, atau pendudukan oleh negara asing.
Pengakuan akan keberagaman, juga tercantum pada Pasal 26 ayat
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menetapkan
bahwa Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan
orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga
negara.
Dengan masuknya rumusan orang asing yang tinggal di Indonesia
sebagai penduduk Indonesia, orang asing yang menetap di wilayah Indonesia
mempunyai status hukum sebagai penduduk Indonesia. Sebagai penduduk, pada diri
orang asing itu melekat hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku (berdasarkan prinsip yurisdiksi teritorial)
sekaligus tidak boleh bertentangan dengan ketentuan hukum internasional yang
berlaku umum.
Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 ditetapkan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan tersebut menggambarkan keanekaragaman
agama di Indonesia.
Selanjutnya, dalam Pasal 32 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 juga diatur berdasarkan pada keanekaragaman
budaya di Indonesia. Pasal ini merupakan landasan juridis bagi pengakuan atas
keberadaan masyarakat adat. Yang pertama menegaskan tentang penghormatan
terhadap identitas budaya dan hak masyarakat tradisional oleh Negara sedangkan
yang kedua mengenai tugas Negara untuk menjamin kebebasan masyarakat dalam
memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya di tengah upaya Negara untuk
memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia
Pentingnya keberagaman dalam pembangunan selanjutnya
diperkukuh dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagaimana tercantum dalam
ketentuan Pasal 36A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang menegaskan bahwa Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan
Bhinneka Tunggal Ika.
Saat ini, semangat Bhinneka Tunggal Ika terasa luntur, banyak
generasi muda yang tidak mengenal semboyan ini, bahkan banyak kalangan
melupakan kata-kata ini, sehingga ikrar yang ditanamkan jauh sebelum Indonesia
merdeka memudar, seperti pelita kehabisan minyak. Selain karena lunturnya
semangat tersebut, adanya disparitas sosial ekonomi sebagai dampak dari
pengaruh demokrasi. Akibat dari keadaan ini dikhawatirkan akan menimbulkan
fanatisme asal daerah.
Dengan kembali menggelorakan semangat ke-bhinneka-an,
perbedaan dipandang sebagai suatu kekuatan yang bisa mempersatukan bangsa dan
negara dalam upaya mewujudkan cita-cita negara. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika
menunjukan bahwa bangsa Indonesia sangat heterogen, dan karenanya toleransi
menjadi kebutuhan mutlak. Di era modern ini, di ruang-ruang publik yang manakah
homogenitas absolut dapat kita temukan? Tidak ada. Sebab, heterogenitas
sudah merupakan keniscayaan hidup modern. Karena itulah, tak bisa tidak,
kita harus belajar menerima dan menghargai pelbagai perbedaan.
Dewasa ini banyak faktor yang menyebabkan toleransi kian
memudar dari kehidupan masyarakat. Di era globalisasi ini, banyak kecenderungan
antar individu bersikap saling curiga yang apabila hal ini dibiarkan akan
memecah persatuan dan kesatuan bangsa.
Itulah artinya toleransi, yang berasal dari kata “tollere”
(bahasa Latin) yang berarti mengangkat, sikap yang memperlihatkan kesediaan
tulus untuk mengangkat, memikul, menopang bersama perbedaan yang ada. Dengan
demikian, toleransi meniscayakan sikap menghargai harus aktif dan dimulai dari
diri sendiri. Jadi, dengan toleransi bukan orang lain yang terlebih dulu harus
menghargai kita, melainkan kita sendirilah yang harus memulai untuk menghargai
orang lain. Akan tetapi tidak berhenti di situ saja, sebab toleransi akan
menjadi bermakna jika ia diikuti juga oleh pihak lain, sehingga sifatnya
menjadi dua arah dan timbal-balik.
B. KEANEKARAGAMAN BANGSA INDONESIA
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk karena terdiri
atas berbagai suku bangsa, adat istiadat, bahasa daerah, serta agama yang
berbeda-beda. Keanekaragaman tersebut terdapat di berbagai wilayah yang
tersebar dari Sabang sampai Merauke. Kenyataan yang tak dapat ditolak bahwa
masyarakat dan bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat
yang beragam budaya.
Keragaman budaya di Indonesia adalah sesuatu yang tidak dapat
dipungkiri keberadaannya. Dalam konteks pemahaman masyarakat majemuk, selain
kebudayaan kelompok suku bangsa, masyarakat Indonesia juga terdiri dari
berbagai kebudayaan daerah bersifat kewilayahan yang merupakan pertemuan dari
berbagai kebudayaan kelompok suku bangsa yang ada di daerah tersebut. Dengan
jumlah penduduk lebih dari 237.000.000 (dua ratus tiga puluh juta) jiwa yang
tinggal tersebar di pulau-pulau di Indonesia (Badan Pusat Statistik tahun
2010). Dapat dikatakan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat
keaneragaman budaya atau tingkat heterogenitas yang tinggi. Tidak saja
keanekaragaman budaya kelompok suku bangsa tetapi juga keaneka ragaman budaya
dalam konteks peradaban, tradisional hingga ke modern, dan kewilayahan.
Bangsa Indonesia memiliki lebih dari 1.128 (seribu seratus
dua puluh delapan) suku bangsa. Setiap suku bangsa di Indonesia mempunyai
kebiasaan hidup yang berbeda-beda. Demi persatuan dan kesatuan, keanekaragaman
ini merupakan suatu kekuatan yang tangguh dan mempunyai keunggulan dibandingkan
dengan negara lainnya. Dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, keragaman suku
bangsa dan budaya merupakan salah satu modal dasar dalam pembangunan.
Para pendiri negara telah menyadari realitas tersebut sebagai
landasan bagi pembangunan bangsa Indonesia. Atas dasar itulah mereka merumuskan
bahwa negara Indonesia terdiri dari Zelfbesturende landschappen (daerah-daerah
swapraja) dan Volksgemeenschappen (desa atau yang setingkat dengan itu)
di dalam Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum perubahan). Langkah ini mempunyai
dua implikasi: pertama, dengan menyerap kekhasan tiap kelompok
masyarakat, negara Indonesia yang dibentuk berupaya menciptakan satu bangsa. Kedua,
mengabaikan eksistensi kelompok-kelompok tersebut akan berimplikasi pada
kegagalan cita-cita membangun satu bangsa Indonesia.
Upaya untuk membangun Indonesia yang beragam budaya hanya
mungkin dapat terwujud apabila paham keragaman budaya menyebar luas dan
dipahami pentingnya bagi bangsa Indonesia, serta adanya keinginan bangsa
Indonesia pada tingkat nasional maupun lokal untuk mengadopsi dan menjadi
pedoman hidupnya. Kesamaan pemahaman mengenai keragaman budaya serta
upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkan cita-cita pembangunan dengan
keberagaman akan menunjang kemajuan bangsa.
Secara umum kemajemukan Bangsa Indonesia tidak hanya ditandai
oleh perbedaan-perbedaan horizontal, seperti yang lazim kita jumpai pada
perbedaan suku, ras, bahasa, adat-istiadat, dan agama. Namun juga terdapat
perbedaan vertikal, berupa capaian yang diperoleh melalui prestasi. Indikasi
perbedaan tersebut tampak dalam strata sosial ekonomi, posisi politik, tingkat
pendidikan, kualitas pekerjaan, dan kondisi permukiman.
Yang mencolok dari ciri kemajemukan masyarakat Indonesia
adalah penekanan pada pentingnya kesukubangsaan yang terwujud dalam
komunitas-komunitas suku bangsa, dan digunakannya kesukubangsaan sebagai acuan
utama bagi jati diri individu.
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan “negara
persatuan” dalam arti sebagai negara yang warga negaranya erat bersatu, yang
mengatasi segala paham perseorangan ataupun golongan yang menjamin segala warga
negara bersamaan kedudukannya di hadapan hukum dan pemerintahan dengan tanpa
kecuali. Dalam negara persatuan itu, otonomi individu diakui kepentingannya
secara seimbang dengan kepentingan kolektivitas rakyat. Kehidupan orang
perorang ataupun golongan-golongan dalam masyarakat diakui sebagai individu dan
kolektivitas warga negara, terlepas dari ciri-ciri khusus yang dimiliki
seseorang atau segolongan orang atas dasar kesukuan dan keagamaan dan
lain-lain, yang membuat seseorang atau segolongan orang berbeda dari orang atau
golongan lain dalam masyarakat (Asshiddiqie, Jimly, 2005).
Prinsip demokrasi hanya mungkin hidup dan berkembang dalam
sebuah masyarakat sipil yang terbuka, yang warganya mempunyai toleransi
terhadap perbedaan-perbedaan dalam bentuk apa pun, karena adanya kesetaraan
derajat kemanusiaan yang saling menghormati, dan diatur oleh hukum yang adil
dan beradab yang mendorong kemajuan serta menjamin kesejahteraan hidup
warganya.
Masyarakat terbuka harus membuka diri bagi pembaharuan dan
perbaikan, berorientasi ke depan, selalu mempertimbangkan globalisasi yang
membawa serta kemajuan teknologi, dan berpijak pada kenyataan. Dalam menyikapi
pluralitas bangsa, pendekatan sentralistik dan totalitarian harus ditinggalkan.
Negara persatuan mengakui keberadaan masyarakat warga negara
karena kewargaannya. Dengan demikian, negara persatuan itu mempersatukan
seluruh bangsa Indonesia dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena
prinsip kewargaan yang berkesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan.
Negara Persatuan tidak boleh dipahami sebagai konsepsi atau cita negara yang
bersifat totalitarian ataupun otoritarian yang mengabaikan pluralisme dan
menafikan otonomi individu rakyat yang dijamin hak-hak dan kewajiban asasinya
dalam Undang-Undang Dasar (Asshiddiqie, Jimly, 2005).
Dalam konteks bentuk negara, meskipun bangsa Indonesia
memilih bentuk negara kesatuan, di dalamnya terselenggara suatu mekanisme yang
memungkinkan tumbuh dan berkembangnya keragaman antardaerah di seluruh tanah
air. Kekayaan alam dan budaya antardaerah tidak boleh diseragamkan dalam
struktur Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan perkataan lain, bentuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia diselenggarakan dengan jaminan otonomi yang
seluas-luasnya kepada daerah-daerah untuk berkembang sesuai dengan potensi dan
kekayaan yang dimilikinya masing-masing, tentunya dengan dorongan, dukungan,
dan bantuan yang diberikan oleh Pemerintah pusat (Asshiddiqie, Jimly, 2005).
Prinsip persatuan sangat dibutuhkan karena keragaman suku
bangsa, agama, dan budaya yang diwarisi oleh bangsa Indonesia dalam sejarah
mengharuskan bangsa Indonesia bersatu. Keragaman itu merupakan kekayaan yang
harus dipersatukan, tetapi tidak boleh diseragamkan, dengan demikian, prinsip
persatuan Indonesia tidak dipersempit maknanya.
Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan yang mengungkapkan
persatuan dan kesatuan yang berasal dari keanekaragaman. Walaupun terdiri atas
berbagai suku yang beranekaragam budaya daerah, tetap satu bangsa Indonesia,
memiliki bahasa dan tanah air yang sama, yaitu bahasa Indonesia dan tanah air
Indonesia. Begitu juga bendera kebangsaan merah putih sebagai lambang identitas
bangsa dan bersatu padu di bawah falsafah serta dasar negara Pancasila. Bangsa
Indonesia harus bersatu padu agar manjadi satu kesatuan yang bulat dan utuh.
Untuk dapat bersatu harus memiliki pedoman yang dapat menyeragamkan pandangan
dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, akan terjadi persamaan langkah dan tingkah
laku bangsa Indonesia. Pedoman tersebut adalah Pancasila. Membiasakan bersahabat
dan saling membantu dengan sesama warga yang ada di lingkungan, seperti gotong
royong akan dapat memudahkan tercapainya persatuan dan kesatuan bangsa. Bangsa
Indonesia harus merasa satu, senasib sepenanggungan, sebangsa, dan sehati dalam
kekuatan wilayah nasional dengan segala isi dan kekayaannya merupakan satu
kesatuan wilayah.
Dalam mengembangkan sikap menghormati terhadap keragaman suku
bangsa, dapat terlihat dari sifat dan sikap dalam kehidupan sehari-hari, di
antaranya adalah sebagai berikut:
a. kehidupan
bermasyarakat tercipta kerukunan seperti halnya dalam sebuah keluarga.
b. antara
warga masyarakat terdapat semangat tolong menolong, kerjasama untuk
menyelesaikan suatu masalah, dan kerja sama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
c. dalam
menyelesaikan urusan bersama selalu diusahakan dengan melalui musyawarah.
d. terdapat kesadaran dan sikap yang mengutamakan
kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
Sumber : Buku
“Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara”
Bab V Halaman 169 s/d 188.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar