NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI BENTUK NEGARA
A. INDONESIA SEBELUM KEMERDEKAAN
1. Sejarah Nama Indonesia
Bangsa Indonesia lahir dan bangkit melalui sejarah perjuangan masyarakat bangsa yang pernah dijajah oleh Belanda dan Jepang. Akibat penjajahan bangsa Indonesia sangat menderita, tertindas lahir dan batin, mental dan materiil, mengalami kehancuran di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan hingga sisa-sisa kemegahan dan kejayaan Nusantara seperti Sriwijaya dan Majapahit yang dimiliki rakyat di bumi pertiwi, sirna, dan hancur tanpa sisa.
Sejarah Indonesia meliputi suatu rentang waktu yang sangat panjang dimulai sejak zaman prasejarah berdasarkan penemuan "Manusia Jawa". Secara geologi, wilayah nusantara merupakan pertemuan antara tiga lempeng benua, yaitu lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan Lempeng Pasifik.
Para cendekiawan India telah menulis tentang Dwipantara atau kerajaan Hindu Jawa Dwipa di pulau Jawa dan Sumatera sekitar 200 SM. Bukti fisik awal yang menyebutkan mengenai adanya dua kerajaan bercorak Hinduisme pada abad ke-5, yaitu Kerajaan Tarumanagara yang menguasai Jawa Barat dan Kerajaan Kutai di pesisir Sungai Mahakam, Kalimantan.
Pada abad ke-4 hingga abad ke-7, di wilayah Jawa Barat terdapat kerajaan bercorak Hindu-Budha yaitu kerajaan Tarumanagara yang dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda sampai abad ke-16. Pada masa abad ke-7 hingga abad ke-14, kerajaan Buddha Sriwijaya berkembang pesat di Sumatera yang beribukota di Palembang. Pada puncak kejayaannya, Sriwijaya menguasai daerah sejauh Jawa Barat dan Semenanjung Melayu.
Selanjutnya, pada abad ke-14 juga menjadi saksi bangkitnya sebuah kerajaan Hindu di Jawa Timur, Majapahit. Patih Majapahit antara tahun 1331 hingga 1364, Gajah Mada berhasil memperoleh kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian besarnya adalah Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung Melayu.
Kejayaan Sriwijaya dan Majapahit merupakan sejarah awal pengenalan wilayah kepulauan Nusantara yang merupakan tanah air bangsa Indonesia. Sebutan Nusantara diberikan oleh seorang pujangga pada masa Kerajaan Majapahit, kemudian pada masa penjajahan Belanda sebutan ini diubah oleh pemerintah Belanda menjadi Hindia Belanda.
Indonesia berasal dari bahasa latin indus dan nesos yang berarti India dan pulau-pulau. Indonesia merupakan sebutan yang diberikan untuk pulau-pulau yang ada di Samudra India dan itulah yang dimaksud sebagai satuan pulau yang kemudian disebut dengan Indonesia (Setidjo, Pandji, 2009).
Pada tahun 1850, George Windsor Earl seorang Inggris etnolog mengusulkan istilah Indunesians dan preperensi Malayunesians untuk penduduk kepulauan Hindia atau Malayan Archipelago. Kemudian seorang mahasiswa bernama Earl James Richardison Logan menggunakan Indonesia sebagai sinonim untuk Kepulauan Hindia. Namun dikalangan akademik Belanda, di Hindia Timur enggan menggunakan Indonesia sebaliknya mereka menggunakan istilah Melayu Nusantara (Malaische Archipel). Sejak tahun 1900 nama Indonesia menjadi lebih umum dikalangan akademik di luar Belanda, dan golongan nasionalis Indonesia menggunakan nama Indonesia untuk ekspresi politiknya. Adolf Bastian dari Universitas Berlin memopulerkan nama Indonesia melalui bukunya Indonesien oder die inseln des malayischen arcipels (1884-1894). Kemudian sarjana bahasa Indonesia pertama yang menggunakan nama Indonesia adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) ketika ia mendirikan kantor berita di Belanda dengan nama Indonesisch Pers-Bureau di tahun 1913.
Penduduk yang hidup di wilayah Nusantara menempati ribuan pulau. Nenek moyang masyarakat Nusantara hidup dalam tata masyarakat yang teratur, bahkan dalam bentuk sebuah kerajaan kuno, seperti Kutai yang berdiri pada abad V di Kalimantan Timur, Tarumanegara di Jawa Barat, dan Kerajaan Cirebon pada abad II (Setidjo, Pandji, 2009). Kemudian beberapa abad setelah itu berdiri Kerajaan Sriwijaya pada abad VII, Kerajaan Majapahit pada abad XIII, dan Kerajaan Mataram pada abad XVII.
Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, dan Mataram menunjukkan kejayaan yang dimiliki wilayah Nusantara dan pada waktu itu sejarah mencatat bahwa wilayah Nusantara berhasil dipersatukan dan mengalami kemakmuran yang dirasakan seluruh rakyat.
Mengenai sejarah Nusantara ini, Bung Karno pernah menyampaikan bahwa:
“Kita hanya dua kali mengalami nationale staat, yaitu di jaman Sriwijaya dan di jaman Majapahit... nationale staat hanya Indonesia seluruhnya, yang telah berdiri di jaman Sriwijaya dan Majapahit dan yang kini pula kita harus dirikan bersama-sama.” (Pidato “Lahirnya Pacasila” yang disampaikan Bung Karno di depan Dokuritsu Junbi Tyoosakai pada 1 Juni 1945).
Kerajaan Majapahit merupakan cikal bakal negara Indonesia. Majapahit yang keberadaannya sekitar abad XIII sampai abad XV adalah kerajaan besar yang sangat berjaya, terlebih pada masa pemerintahan Mahapatih Gajah Mada yang wafat disekitar 1360-an. Gajah Mada adalah Mahapatih Majapahit yang sangat disegani, dia lah yang berhasil menyatukan Nusantara yang terkenal dengan “Sumpah Palapa” (sumpah yang menyatakan tidak akan pernah beristirahat atau berhenti berpuasa sebelum Nusantara bersatu).4
Sumpah Palapa ini yang kemudian mengilhami para founding fathers kita untuk menggali kembali, menggunakan dan memelihara visi Nusantara, bersatu dalam Wawasan Nusantara dengan sesanti Bhinneka Tunggal Ika yang mengandung arti beragam, tetapi sejatinya satu, yang seharusnya berada dalam satu wadah. Sumpah Palapa yang dikemukakan Mahapatih Gajah Mada yang kemudian setelah Majapahit berhasil menyatukan daerah-daerah di luar Jawa Dwipa menjadi Patih Dwipantara atau Nusantara, pada jamannya merupakan visi globalisasi Majapahit, yaitu meskipun pusat Kerajaan berada di Pulau Jawa (Jawa Dwipa), namun dia bertekat menyatukan seluruh wilayah Nusantara (pulau-pulau yang berada di luar pulau Jawa) dalam satu kesatuan, satu kehendak dan satu jiwa. (Soepandji, Budi Susilo, 2011)
Sumpah Palapa adalah pernyataan sumpah yang diucapkan Gajah Mada pada upacara pengangkatannya menjadi Patih Amangkubhumi Majapahit, tahun 1258 Saka (1336 M).Sumpah Palapa ini ditemukan pada teks Jawa Pertengahan Pararaton yang berbunyi: Sira Gajah Mada Patih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada: "Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa". ([Dia] Gajah Mada Patih Amangkubumi Kerajaan Majapahit tidak akan melepaskan puasa. Gajah Mada berucap: "Jika telah mengalahkan Nusantara, [baru] saya akan melepaskan puasa (tidak lagi berpuasa). Jika telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, [baru] saya akan melepaskan puasa). Dari naskah ini dapat diketahui bahwa ketika Gajah Mada diangkat sebagai Mahapatih Majapahit, sebagian wilayah Nusantara yang disebutkan di dalam sumpahnya belum dikuasai Majapahit. Wilayah tersebut yaitu: Gurun (Nusa Penida), Seran (Seram), Tañjung Pura (Kerajaan Tanjungpura, Ketapang, Kalimantan Barat), Haru (Sumatera Utara, kemungkinan merujuk kepada Kerajaan Karo), Pahang (Pahang di Semenanjung Melayu), Dompo (sebuah daerah di pulau Sumbawa), Bali (Kerajaan Bali), Sunda (Kerajaan Sunda), Palembang (Kerajaan Sriwijaya), dan Tumasik (Singapura).
Meski demikian, sejarah juga mencatat bahwa kejayaan Kerajaan Majapahit yang berumur lebih dari 2 abad harus berakhir karena Majapahit mengalami paradoks history setelah Patih Gajah Mada wafat, Kerajaan Majapahit mengalami perpecahan (semacam balkanisasi di Eropa Timur di akhir abad XX) dengan ditandai lepasnya kerajaan-kerajaan yang semula berada dalam kekuasaan Kerajaan Majapahit menjadi kerajaan-kerajan kecil yang berdiri sendiri. Kewaspadaan nasional yang dimiliki Majapahit sebagai negara bangsa (nationale staat) dalam konteks berbangsa dan bernegara waktu itu sangat lemah, sehingga konflik-konflik yang terjadi menyulut perpecahan yang lambat laun mempengaruhi ketahanan nasional dan menuju ke kehancuran total.
Di tengah kondisi demikian, dan seiring dengan masuknya bangsa-bangsa Eropa ke wilayah Nusantra sejak di sekitar 1521, mulai Spanyol, Portugis, kemudian disusul Belanda dengan VOC-nya di sekitar 1602, visi wawasan nusantara Mahapatih Gajah Mada pada masa Majapahit benar-benar hancur, ditambah penjajahan Belanda dan Jepang yang berlangsung sekitar 3 setengah abad, meskipun pada 17 Agustus 1945 Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya. Namun kenyataannya penjajahan kolonial bisa dikatakan baru berakhir degan tuntas sejak 27 Desember 1949 (Soepandji, Susilo Budi, 2011).
2. Masa Penjajahan
Sejak berakhirnya masa kerajaan di Indonesia, masuklah bangsa Barat seperti Portugis dan Spanyol yang disusul oleh Bangsa Belanda pada abad XVI tepatnya 1596. Belanda cukup berhasil menguasai Indonesia, mereka mengeruk keuntungan sebesar-besarnya sementara rakyat Indonesia mengalami penderitaan lahir dan batin. Belanda melakukan dominasi politik, eksploitasi ekonomi, dan memperlakukan rakyat Indonesia dengan sewenang-wenang. Belanda menerapkan politik ”adu domba” dan melakukan diskriminasi rasial kepada rakyat Indonesia.
Kondisi masyarakat yang semakin parah akibat penjajahan tersebut membangkitkan perlawanan yang dipimpin oleh para tokoh perjuangan di antaranya Sultan Ageng Tirtayasa, Cik Dik Tiro, Teuku Umar, Sultan Hasanuddin, Imam Bonjol, Panglima Polim, dan Pangeran Diponegoro. Namun perlawan-perlawanan tersebut mengalami kegagalan karena pada waktu itu belum terpupuk kesadaran nasional dan perjuangan yang dilakukan masih bersifat kedaerahan (Setidjo, Pandji, 2009).
Perlawanan terhadap penjajahan Belanda terus dilakukan, secara fisik maupun politik. Munculnya kesadaran para pejuang dan golongan terpelajar Indonesia serta situasi internasional yang menimbulkan pergerakan di kalangan negara-negara terjajah, pada 20 Mei 1908 di Jakarta berdirilah Boedi Oetomo yang didirikan oleh dr. Soetomo dan kawan-kawan dengan ketuanya Dr. Wahidin Sudiro Husodo.
Setelah gerakan Boedi Oetomo pada 1908, kemudian dilanjutkan dengan berdirinya Serikat Dagang Islam pada 1909 pimpinan H. Samanhudi yang kemudian pada 1911 berubah menjadi Serikat Islam di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto. Pada 1912 berdiri organisasi Islam Muhammadiyah di Yogyakarta di bawah pimpinan K.H. Ahmad Dahlan. Setelah itu pada 1915 berdiri Indische Party yang didirikan oleh tiga serangkai, yaitu dr. Tjipto Mangunkusumo, Ki Hajar Dewantara, dan Douwes Deker. Kemudian pada 1920 Indische Social Demokratische Partij atau ISDP dan bagian dari Serikat Islam berubah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Selanjutnya pada 1926 dikalangan ulama Nusantara lahirlah Jamiyah Nahdlatul Ulama di bawah pimpinan K.H. Hasyim Asy’ari di Surabaya. Berikutnya, pada 1927 berdiri Partai Nasional Indonesia (PNI) yang dipimpin oleh Ir. Soekarno dengan tujuan untuk Indonesia Merdeka.
Pada 1928, lahirlah Sumpah Pemuda yaitu golongan pemuda yang menghendaki persatuan, bertujuan mencanangkan cita-cita kemerdekaan, dan memperjuangkan Indonesia merdeka. Melalui kongresnya yang ke-2 pada 27 dan 28 Oktober 1928 di Jakarta, yang dihadiri 750 orang dari masing-masing perwakilan organisasi PPPI, Jong Java, Jong Islamiten Bond, Jong Sumateranen Bond, Pemuda Indonesia, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Batak, dan Pemuda Kaum Betawi, lahirlah Sumpah Pemuda.
Pencetus Sumpah Pemuda adalah Perhimpunan Indonesia Nederland, Partai Nasional Indonesia, dan Pemuda Indonesia. Sumpah Pemuda inilah yang menjadi cikal bakal pendorong perjuangan kemerdekaan Indonesia yang semakin tegas memperkuat persatuan nasional sebagai bekal yang makin kuat menuju cita-cita kemerdekaan Indonesia. Pada saat perang dunia II berlangsung, pada 1942, Jepang mendarat di Indonesia melalui Tarakan, Minahasa dan Sulawesi, Balikpapan, Ambon, Batavia, dan Bandung. Belanda menyerah kepada tentara Jepang pada 9 Maret 1942.
Sejak itulah, Bangsa Indonesia berada dalam jajahan tentara Jepang dan wilayah Indonesia dibagi menjadi 2 bagian, yaitu pertama: Pulau Jawa dan Sumatera di bawah kekuasaan Angkatan Darat, dan kedua: Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian, dan Nusa Tenggara di bawah kekuasaan Angkatan Laut.
Bangsa Indonesia terus melakukan perlawanan terhadap Jepang dan perlawanan tetap berlanjut sampai tentara Jepang terdesak oleh Sekutu pada 1944-1945. Pada 29 April 1945, pemerintah Jepang membentuk sebuah Badan yang bertugas menyelidiki kemungkinan Indonesia Merdeka. Badan tersebut bernama Dokuritzu Junbi Choosakai atau BPUPKI yang dilantik pada 28 Mei 1945.
BPUPKI melaksanakan persidangan selama dua kali, yaitu pada 29 Mei sampai 1 Juni 1945 dan 10 sampai 17 Juli 1945. Sesuai tugas yang diberikan kepada BPUPKI, penyelidikan usaha-usaha kemerdekaan Indonesia ditingkatkan menjadi mempersiapkan kemerdekaan dengan cara antara lain merumuskan dasar negara sebagai landasan negara untuk negara yang akan dibentuk.
Selain perjuangan yang dilakukan dalam sidang BPUPKI, pejuang Indonesia juga tetap dilakukan melalui gerakan perlawanan di bawah tanah. Setelah BPUPKI menyelesaikan tugas dan melaporkannya kepada pemerintah Jepang, BPUPKI kemudian dibubarkan dan dengan usul BPUPKI dibentuklah PPKI pada 7 Agustus 1945. Pada 14 Agustus 1945, melalui Radio Suara Amerika, diberitakan bahwa Hirosima dan Nagasaki dibom, dan karena kejadian ini Pemerintah Jepang menyerah kepada Sekutu. Bersamaan dengan peristiwa tersebut, tentara Inggris dengan nama South East Asia Command yang bertugas menduduki wilayah Indonesia, menerima penyerahan kekuasaan dari tangan Jepang (Setidjo, Pandji, 2009),
Ketika terjadi kekosongan kekuasaan karena Jepang telah menyerah dan tentara Sekutu belum mendarat di Indonesia, rakyat Indonesia yang diwakili oleh tokoh pejuang bangsa berhasil menyusun naskah Proklamasi di rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda, Jalan Imam Bonjol, Jakarta dan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta. Naskah Proklamasi tersebut disusun oleh Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, dan Mr. Achmad Soebardjo.
Proklamasi merupakan momentum pembebasan dan berakhirnya penjajahan, mengantarkan rakyat Indonesia untuk memulai kehidupan bernegara, dan melanjutkan cita-cita perjuangan sebagai Negara Indonesia yang merdeka.
B. INDONESIA SETELAH KEMERDEKAAN
1. Sejarah Konsep Negara Kesatuan dalam Undang-Undang Dasar
Sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sejarah Bangsa Indonesia dimulai dari sejarah menyusun pemerintahan, politik, dan administrasi negara. Landasan yang dijadikan pijakan adalah konstitusi dan ideologi. Atas dasar tersebut, pada 18 Agustus 1945, diselenggarakan sidang PPKI yang berhasil menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara dan menetapkan Ir. Soekarno sebagai Presiden dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden.
Dalam rapat BPUPKI yang membahas rancangan undang-undang dasar, permasalahan bentuk negara menjadi salah satu pembahasan yang diperdebatkan secara serius. Usulan bentuk negara yang muncul pada waktu itu yaitu negara kesatuan dan negara federal. Namun kemudian disepakati bentuk Negara Indonesia ialah negara kesatuan, sebagaimana tertera dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Pilihan BPUPKI ini tidak lagi dipersoalkan ketika pada 18 Agustus 1945 PPKI menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Soekarno mengulas pemikiran bahwa nasionalisme Indonesia atau negara kesatuan adalah sebuah takdir. Hal ini terungkap dalam pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945, yaitu sebagai berikut: “Allah S.W.T membuat peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan di mana “kesatuan-kesatuan” di situ. Seorang anak kecil pun -jikalau ia melihat peta dunia- ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau di antara 2 lautan yang besar, Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, dan di antara 2 benua, yaitu Benua Asia dan Benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes, Halmahera, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku dan lain-lain pulau kecil di antaranya, adalah satu kesatuan. Demikan pula tiap-tiap anak kecil dapat melihat pada peta bumi, bahwa pulau-pulau Nippon yang membentang pada pinggir timur Benua Asia sebagai golfbreker atau penghadang gelombang lautan Pasifik, adalah satu kesatuan.
Anak kecil pun dapat melihat, bahwa tanah India adalah satu kesatuan di Asia Selatan, dibatasi oleh Lautan Hindia yang luas dan Gunung Himalaya. Seorang anak kecil pula dapat mengatakan, bahwa kepulauan Inggris adalah satu kesatuan.
Griekenland atau Yunani dapat ditunjukkan sebagai satu kesatuan pula. Itu ditaruhkan oleh Allah S.W.T demikian rupa. Bukan Sparta saja, bukan Athena saja, bukan Macedonia saja, tetapi Sparta plus Athena plus Macedonia plus daerah Yunani yang lain-lain -segenap kepulauan Yunani- adalah satu kesatuan.
Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah darah kita, tanah air kita? Menurut geopolitik, maka Indonesialah tanah air kita. Indonesia yang bulat-bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang ditunjuk oleh Allah SWT menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera-itulah tanah air kita!
Maka jikalau saya ingat perhubungan antara orang dan tempat-antara rakyat dan buminy- maka tidak cukuplah definisi yang dikatakan Ernest Renan dan Otto Bauer itu. Tidak cukup le desir d’etre ensemble, tidak cukup definisi Otto Bauer aus Schiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft itu.
Maaf, Saudara-saudara, saya mengambil contoh Minangkabau. Di antara bangsa Indonesia, yang paling ada le desir d’etre ensemble adalah rakyat Minangkabau, yang banyaknya kira-kira 2 milyun.Rakyat ini merasa dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan satu kesatuan, melainkan hanya satu bagian kecil dari satu kesatuan! Penduduk Yogya pun adalah merasa le desir d’etre ensemble, tetapi Yogya pun hanya satu bahagian kecil dari satu kesatuan. Di Jawa Barat rakyat Pasundan sangat merasakan le desir d’etre ensemble, tetapi Sunda pun hanya satu bagian kecil dari satu kesatuan.
Pendek kata, bangsa Indonesia -Natie Indonesia- bukanlah sekadar contoh satu golongan orang yang hidup dengan le desir d’etre ensemble di atas daerah yang kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang menurut geopolitik, yang telah ditentukan oleh Allah SWT, tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatera sampai ke Irian! Seluruhnya! Karena antara 70.000.000 ini sudah ada le desir d’etre ensemble, sudah terjadi Charaktergemeinschaft! Natie Indonesia, bangsa Indonesia, umat Indonesia jumlah orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah menjadi satu, satu, sekali lagi satu!
Ke sinilah kita semua harus menuju: Mendirikan satu Nationale Staat, di atas kesatuan bumi Indonesia dari ujung Sumatera sampai ke Irian. Saya yakin tidak ada satu golongan di antara Tuan-tuan yang tidak mufakat, baik Islam maupun golongan yang dinamakan “golongan kebangsaan”. Ke sinilah kita harus menuju semuanya.
Keinginan bangsa Indonesia untuk membangun sendiri negara yang merdeka dan berdaulat mendapat tantangan besar dari pemerintah Belanda. Pada 1946, secara sepihak Belanda kembali masuk ke Indonesia mengatasnamakan sebagai penguasa yang sah karena berhasil mengalahkan Jepang yang sebelumnya mengambil alih kekuasaan Hindia Belanda (Indonesia) dari Belanda. Menghadapi situasi semacam ini, menggeloralah semangat revolusi kemerdekaan yang mengakibatkan Indonesia yang baru merdeka harus secara fisik berperang melawan Belanda yang ingin merampas kembali kemerdekaan Indonesia. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan tersebut melewati beberapa episode penting yang mengkombinasikan antara perang fisik dan perang diplomasi atau perundingan-perundingan dalam kurun waktu 1945-1949.
Pada 19 Desember 1948, akibat serangan Belanda yang berhasil menguasai Yogyakarta waktu itu dijadikan ibu kota Negara Republik Indonesia, Sidang Kabinet Republik Indonesia yang dipimpin oleh Wakil Presiden Moh. Hatta memutuskan untuk memberikan mandat kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara agar membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), dan seandainya tidak mungkin, supaya menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis yang pada waktu itu berada di luar negeri (New Delhi) untuk menggantikan Mr. Sjafruddin.
Secara serentak Kabinet Hatta mengeluarkan dua surat mandat tentang pembentukan pemerintah darurat di Sumatera, satu untuk Mr Sjafruddin Prawiranegara di Bukit Tinggi, dan satu lagi untuk Mr. A.A. Maramis di New Delhi.
Tanggal 22 Desember 1948, dalam rapat di Sumatera yang dihadiri antara lain oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara, Mr.T. M. Hassan, Mr.S. M. Rasyid, Kolonel Hidayat, Mr.Lukman Hakim, Ir. Indracahya, Ir. Mananti Sitompul, Maryono Danubroto, Direktur BNI Mr. A. Karim, Rusli Rahim, dan Mr. Latif memproklamirkan pemerintah darurat. Pendirian PDRI ini merupakan satu bentuk perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Indonesia terhadap Belanda.
Pemerintah darurat merupakan upaya pengalihan kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia kepada pihak tertentu untuk menjalankan pemerintahan karena pemerintah Indonesia pada masa itu tidak dapat menjalankan fungsi pemerintahan. Hal ini karena pemerintahan yang tengah berlangsung mengalami ketidakkuasaan dalam menjalankan pemerintahan disebabkan adanya agresi Belanda yang berhasil menangkap Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta selaku kepala pemerintahan dan menguasai pusat pemerintahan. Peran pemerintah darurat ini menjadi sentral karena merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah Indonesia yang pada masa itu tidak dapat menjalankan pemerintahan.
Berdirinya pemerintah darurat memiliki satu arti penting, yakni Indonesia masih memiliki eksistensi ketika terjadi penyerangan dan penguasaan yang dilakukan oleh Belanda. Walaupun merupakan pemerintahan hasil pelimpahan kekuasaan dan bersifat sementara, PDRI telah menjadi satu mata rantai sejarah Indonesia yang berhasil membentuk Indonesia. Pada saat berdirinya, PDRI melakukan berbagai upaya perlawanan terhadap Belanda baik melalui jalur militer ataupun melalui jalur diplomasi.
Melalui jalur militer ditandai dengan didirikannya beberapa pangkalan militer dan dilakukannya upaya perlawanan dan gerilya. Dalam bidang diplomasi, pada saat berdirinya, PDRI berhasil dilakukan upaya perundingan antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda, yang salah satu perundingan penting tersebut adalah pembicaraan antara Roem dan Van Roeyen dan telah tercapai suatu kesepakatan antara keduanya itu, yakni Yogya dikembalikan kepada Republik Indonesia, dan kemudian akan diadakan perundingan-perundingan mengenai penyerahan kedaulatan. Setelah selesai perundingan Roem-Royen itu, maka Yogyakarta berhasil dikembalikan, serta Soekarno-Hatta dan menteri-menteri lain yang ditawan dikembalikan ke Yogyakarta.
Dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, Belanda terus merongrong kedaulatan Negara Indonesia. Mempertahankan negara dengan semangat ”sekali merdeka tetap merdeka” dan untuk menghindari jatuhnya korban akibat agresi Belanda, para pemimpin bangsa bersedia melakukan berbagai perundingan. Setelah beberapa kali terjadi pertempuran dan dilakukan perundingan antara Indonesia dengan Belanda, antara lain: Perjanjian Linggar Jati pada 25 Maret 1947, Perjanjian Renville pada 8 Desember 1947, dan Konfrensi Meja Bundar (KMB) pada 23 Agustus 1949, dan puncaknya pada 27 Desember 1949, akhirnya Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia dengan syarat harus berbentuk Negara Serikat.
KMB yang berlangsung di Den Haag pada 23 Agustus sampai 2 November 1949, berhasil mengakhiri konfrontasi fisik antara Indonesia dengan Belanda. Hasil konferensi tersebut yang paling utama adalah ”pengakuan dan penyerahan” kedaulatan dari Pemerintah Belanda kepada Pemerintah Indonesia yang disepakati akan disusun dalam struktur ketatanegaraan yang berbentuk negara federal, yaitu negara Republik Indonesia Serikat.
Di samping itu, terdapat empat hal penting lainnya yang menjadi isi kesepakatan dalam KMB, yaitu: Pertama, pembentukan Uni Belanda- Republik Indonesia Serikat yang dipimpin oleh Ratu Belanda secara simbolis; Kedua, Soekarno dan Moh. Hatta akan menjabat sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia Serikat untuk periode 1949-1950, dengan Moh. Hatta merangkap sebagai perdana menteri; Ketiga, Irian Barat masih dikuasasi Belanda dan tidak dimasukkan ke dalam Republik Indonesia Serikat sampai dilakukan perundingan lebih lanjut; Keempat, Pemerintah Indonesia harus menanggung hutang negeri Hindia Belanda sebesar 4,3 miliar gulden (Natsir, Mohammad, 2008).
Di satu sisi hasil KMB tersebut harus dianggap sebagai sebuah kemajuan karena sejak saat itu, setelah Belanda ”mengakui dan menyerahkan” kedaulatan kepada bangsa Indonesia, secara resmi Indonesia menjadi negara merdeka dan terlepas dari cengkeraman Belanda. Namun di sisi lain, kesepakatan yang dihasilkan dalam KMB tidak serta merta menyelesaikan permasalahan bagi Indonesia, terlebih bentuk negara federal yaitu Republik Indonesia Serikat adalah produk rekayasa van Mook yang suatu saat dijadikan strategi untuk merebut kembali Indonesia melalui politik devide et impera.
Di dalam negeri sendiri juga muncul pergolakan, demonstrasi-demonstrasi dan berbagai mosi di Parlemen menyusul hasil KMB dan perubahan bentuk negara dari kesatuan menjadi federal tersebut. Pergolakan ini muncul sedemikian rupa dan sangat mengancam kelangsungan bangsa dan negara Indonesia yang baru merdeka, sementara pemerintah Republik Indonesia Serikat tampak pasif dan defensif serta tidak mengambil inisiatif untuk mengambil langkah-langkah penyelamatan.
Pemerintah lebih banyak diam dan mengambil sikap pasif dengan berlindung di bawah semboyan klise “semua terserah pada kehendak rakyat”, padahal kalau pergolakan tersebut dibiarkan diselesaikan sendiri oleh rakyat, tanpa bimbingan dan komando dari pemerintah, dapat dipastikan akan menimbulkan perpecahan atau disintegrasi yang dapat menghancurkan keutuhan berbangsa dan bernegara.
Dalam situasi seperti ini, Moh. Natsir tampil dengan mosi yang meminta pemerintah dan seluruh elemen bangsa segera menyelesaikan permasalahan tersebut secara integral. Mosi tersebut kemudian dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir”. Sebenarnya, selain ditandatangani oleh Natsir, mosi ini juga ditandatangani oleh beberapa ketua fraksi di parlemen yaitu: Soebadio Sastrasatomo, Hamid Algadri, Sakirman, K. Werdojo, AM Tambunan, Ngadiman Hardjosubroto, B. Sahetapy Engel, Tjokronegoro, Moch. Tauchid, Amels, dan Siradjudddin Abbas. Tidak pernah ada yang mempersoalkan bila kemudian mosi tersebut kemudian lebih dikenal sebagai Mosi Integral Natsir, karena memang Natsir yang memotori dan mengonsep mosi tersebut yang selanjutnya didukung oleh fraksi-fraksi yang lain.
Dalam mosi tersebut, sesungguhnya tidak ada dorongan secara eksplisit untuk membentuk negara kesatuan, bahkan Natsir sendiri mengatakan bahwa mosi tersebut tak ada kaitannya dengan permasalahan unitarisme (negara kesatuan) dan federalisme (negara federal). Yang digunakan di dalam mosi ini adalah istilah “integral” dalam arti penyelesaian secara menyeluruh dan komprehensif (Natsir, Mohammad, 2008).
Mosi Integral Natsir tertanggal 3 April 1950 merupakan monumen sejarah yang mengantarkan Indonesia kembali menjadi negara kesatuan setelah sempat dicabik-cabik dengan bentuk negara federal (federalisme). Mosi tersebut sangat penting dalam menyelamatkan keutuhan bangsa dan negara pada saat bangsa dan negara terancam oleh disintegrasi yang bermuara pada pembentukan kembali negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan.
Mosi Integral Natsir sebenarnya netral dari kontroversi antara kehendak kembali ke negara kesatuan atau melanggengkan negara federal. Oleh karena itu, pembentukan negara kesatuan bukanlah tujuan langsung dari Mosi yang disampaikan Natsir tersebut.
Natsir mengatakan bahwa maksud mosi yang diajukannya tidak terkait dengan soal bentuk negara kesatuan dan federalisme (bentuk negara federal) melainkan menyangkut masalah yang lebih besar dari itu, yaitu “persatuan” untuk keselamatan Negara Republik Indonesia.
Konsep “integral” (menyeluruh dan komprehensif) atau “persatuan” (integrasi) memang tidak identik dengan “negara kesatuan” melainkan lebih merupakan “persatuan kehendak jiwa atau sikap batin” seluruh warga bangsa untuk tetap bersatu sebagai bangsa Indonesia.
Negara kesatuan adalah konsep ketatanegaraan yang mengatur hubungan kekuasaan (gezagsverhouding) antara Pemerintah Pusat dan Daerah, sedangkan persatuan adalah sikap batin atau semangat kolektif untuk bersatu dalam ikatan kebangsaan dan negara.
Tentang persatuan sikap batin atau kejiwaan ini, sejak awal Bung Karno sebagai founding fathers mengajak bangsa Indonesia untuk memahami dan menyelami konsep yang dibangun oleh Renan seorang pakar dari Prancis, yang mengatakan bahwa bangsa adalah segerombolan atau sekumpulan manusia yang memiliki solidaritas yang tinggi karena adanya kesatuan jiwa (soul) yang ingin bersatu dan bersama. Bangsa Indonesia juga dibangun berdasar konsep tentang bangsa dari Otto Bauer yang mengatakan bahwa bangsa adalah sekumpulan manusia yang memiliki persamaan watak karena adanya persamaan nasib. Dalam pidatonya pada 5 Juli 1958 di Istana Negara, Bung Karno melengkapi teori Renan dan Bauer dengan teori geopolitiknya. Tentang teori geopolitik ini, Bung Karno mengatakan bahwa:
“ ...menurut pendapat saya, yang dikatakan bangsa itu adalah segerombolan manusia yang -kalau mengambil Renan- keras ia punya le desir d’etre ensemble (keinginan, kehendak untuk bersatu), -kalau mengambil Otto Bauer- keras ia punya charaktergemeinschaft (persatuan, persamaan watak yang dilahirkan karena persamaan nasib), tetapi yang berdiam di atas satu wilayah geopolitik yang nyata satu persatuan. Apa wilayah geopolitik yang nyata satu persatuan, satu kesatuan itu, apa?....... Geo dari perkataan geografi, peta gambarnya. Geopolitik ialah hubungan antara letaknya tanah dan air, petanya itu dengan rasa-rasa dan kehidupan politik.”
Disini jelas-jelas Bung Karno mengatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia harus menjadi wadah yang menyatukan seluruh aspek kehidupan nasional meliputi aspek geografi, demografi, sumber kekayaan alam, ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya sampai pertahanan dan keamanan bangsa (Soepandji, Susilo Budi, 2011).
Memperhatikan keadaan negara-negara bagian yang sulit dikoordinasikan dan berkurangnya wibawa pemerintah negara federal selama pelaksanaan konstitusi Republik Indonesia Serikat, rakyat Indonesia sepakat untuk kembali ke bentuk negara kesatuan. Negara Kesatuan adalah pilihan yang dianggap tepat pada saat proklamasi tanggal 17 Agustus 1945.
Pada tanggal 17 Agustus 1950, Indonesia resmi kembali ke negara kesatuan dengan konstitusi UUDS 1950, sebagaimana terdapat pada Pasal 1 ayat (1) UUDS 1950 yang menetapkan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara dengan bentuk kesatuan.
Meskipun sudah menganut kembali bentuk negara kesatuan, namun upaya-upaya untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia masih terjadi, yang ditandai dengan terjadinya beberapa pemberontakan dalam kurun waktu 1950 sampai dengan 1958 antara lain Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil di Bandung pada tanggal 23 Januari 1950, Pemberontakan Andi Azis di Makasar pada tanggal 5 April 1950, pemberontakan Republik Maluku Selatan di Ambon pada tanggal 25 April 1950, pemberontakan Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan pada tanggal 10 Oktober 1950, pemberontakan DI/TII Pimpinan Kahar Mudzakkar di Sulawesi Selatan pada tanggal 17 Agustus 1951, pemberontakan Batalyon 426 di Jawa Tengah pada tanggal 1 Desember 1951, pemberontakan DI/TII Pimpinan Daud Beureuh di Banda Aceh pada tanggal 20 September 1953, peristiwa Dewan Banteng di Sumatera Barat pada tanggal 20 Desember 1956, pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia pada tanggal 15 Februari 1958, serta Perjuangan Rakyat Semesta yang menyatakan membantu Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia pada tanggal 15 Februari 1958 (Syafiie IK. dkk., 1994).
Serangkaian pemberontakan tersebut menyebabkan adanya ketidaksesuaian penyelenggaraan pemerintahan oleh aparat negara, terjadi hubungan yang tidak harmonis antara legislatif dan eksekutif, dan sebagian anggota konstituante ada yang menyatakan tidak bersedia lagi menghadiri sidang pleno konstituante. Keadaan ini yang mendorong Presiden Soekarno menyatakan kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 pada 5 Juli 1959 yang dikenal dengan istilah Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Dekrit Presiden tersebut, meneguhkan kembali bahwa pilihan bentuk negara kesatuan adalah pilihan tepat yang mampu mewadahi keanekaragaman wilayah Indonesia.
2. Konsep Negara Kesatuan Menurut UUD 1945
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengukuhkan keberadaan Indonesia sebagai Negara Kesatuan dan menghilangkan keraguan terhadap pecahnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah memperkukuh prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak sedikit pun mengubah Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi negara federal. Pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mendorong pelaksanaan otonomi daerah untuk lebih memperkukuh Negara Kesatuan Republik Indonesia dan meningkatkan proses pembangunan di daerah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Oleh karena itu, diperlukan adanya pengaturan dalam peraturan perundang-undangan yang komprehensif untuk pelaksanaan otonomi daerah sehingga dapat dilaksanakan sesuai dengan hakikat tujuan pembangunan nasional.
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan naskah asli mengandung prinsip bahwa ”Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik.” Pasal yang dirumuskan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tersebut merupakan tekad bangsa Indonesia yang menjadi sumpah anak bangsa pada 1928 yang dikenal dengan Sumpah Pemuda, yaitu satu nusa, satu bangsa, satu bahasa persatuan, satu tanah air yaitu Indonesia. Penghargaan terhadap cita-cita luhur para pendiri bangsa (The Founding Fathers) yang menginginkan Indonesia sebagai negara bangsa yang satu merupakan bagian dari pedoman dasar bagi MPR 1999-2004 dalam melakukan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Wujud Negara Kesatuan Republik Indonesia semakin kukuh setelah dilakukan perubahan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dimulai dari adanya kesepakatan MPR yang salah satunya adalah tidak mengubah Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bentuk final negara bagi bangsa Indonesia.
Kesepakatan untuk tetap mempertahankan bentuk negara kesatuan didasari pertimbangan bahwa negara kesatuan adalah bentuk yang ditetapkan sejak awal berdirinya negara Indonesia dan dipandang paling tepat untuk mewadahi ide persatuan sebuah bangsa yang majemuk ditinjau dari berbagai latar belakang (dasar pemikiran).
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara nyata mengandung semangat agar Indonesia ini bersatu, baik yang tercantum dalam Pembukaan maupun dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar yang langsung menyebutkan tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam lima Pasal, yaitu: Pasal 1 ayat (1), Pasal 18 ayat (1), Pasal 18B ayat (2), Pasal 25A dan pasal 37 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta rumusan pasal-pasal yang mengukuhkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keberadaan lembaga-lembaga dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Prinsip kesatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dipertegas dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam upaya membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Pembentukan pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia itu bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tujuan tersebut bisa dicapai hanyalah dengan adanya kemerdekaan bagi bangsa Indonesaia, sehingga dalam alinea keempat ini secara tegas diproklamirkan, disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam satu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbentuk dalam satu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Pancasila.
Dengan menyadari sepenuhnya bahwa dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan dasar dalam berdirinya bangsa Indonesia dalam Negara Kesatuan, Pembukaan tersebut tetap dipertahankan dan dijadikan pedoman.
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan naskah asli yang tidak dilakukan perubahan karena merupakan bagian dari komitmen MPR untuk tetap mempertahankan Negara Kesatuan dalam bentuk Negara Republik Indonesia sehingga pasal ini mengayomi pula keberadaan pasal-pasal selanjutnya dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahkan dalam Pasal 37 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditegaskan pula bahwa, hanya bentuk Negara Kesatuan saja yang tidak dapat dilakukan perubahan dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan tidak dilakukannya perubahan tersebut semakin memperkukuh bentuk Negara Kesatuan sebagai bentuk final dan menghilangkan kekhawatiran sebagian masyarakat agar Indonesia tidak menjadi negara federal.
Negara Kesatuan Republik Indonesia itu adalah negara yang memiliki satu kesatuan teritori (sesuai dengan UNCLOS 1982) dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai pulau Rote, satu kesatuan bangsa yang disebut bangsa Indonesia (Sumpah Pemuda 1928), satu kesatuan kepemilikan sumber kekayaan alam yang peruntukannya sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat, satu kesatuan ideologi negara yaitu ideologi Pancasila, satu kesatuan politik nasional yang harus selalu berpihak pada kepentingan nasional (national interest), satu kesatuan perekonomian nasional yang harus selalu berpihak pada upaya mensejahterakan rakyat Indonesia, satu kesatuan budaya nasional yang memiliki jati diri Indonesia sebagai karakter nasional dan sistem pertahanan keamanan nasional yang khas menurut kharakteristik Indonesia, itulah makna yang dalam dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (Soepandji, Susilo Budi, 2011).
Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menetapkan “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, kota itu mempunyai pemerintahan dan, yang diatur dengan undang-undang.” Dari Pasal ini teridentifikasi bahwa prinsip penulisan Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk menunjukkan bahwa Negara Kesatuan tidak bisa diubah yang merupakan suatu tekad yang tidak bisa ditawar sama sekali. Negara Kesatuan Republik Indonesia dinyatakan dibagi atas bukan terdiri atas. Kalimat “dibagi atas” menunjukkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia tersebut adalah satu, setelah itu baru kemudian dibagi atas daerah-daerah, sehingga Negara Kesatuan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Meskipun Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah dibagi, dia merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan bahkan dimungkinkan untuk ditarik kembali apabila ada yang ingin mencoba memisahkan diri dari kesatuannya. Kalimat ”dibagi atas provinsi dan provinsi dibagi atas kabupaten dan kota” adalah sebagai wujud pengukuhan dari pengakuan otonomi daerah yang diberikan pengakuan memiliki pemerintahan sendiri yakni pemerintahan daerah namun tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketentuan pasal ini merupakan entry point (pintu masuk atau sebagai dasar) pelaksanaan otonomi daerah dalam rangka mempererat kembali keutuhan daerah-daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga tidak ada lagi perbedaan pendapat terhadap bentuk negara Indonesia sebagai negara kesatuan.
Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan–kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat, dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang.”
Pasal ini memberikan tempat dan menghormati keberadaan masyarakat hukum adat berserta hak-hak tradisionalnya yang memang sudah ada sejak lama bahkan masih hidup di tengah-tengah masyarakat setempat, akan tetapi masyarakat hukum tersebut dengan hak-hak tradisionalnya itu tidak boleh dijadikan sebagai alasan untuk menegakkan negara sendiri mengingat masyarakat hukum adat tersebut sangat besar dan berlainan dengan masyarakat hukum adat di daerah lainnya. Pengakuan dan penghormatan negara tersebut justru dalam rangka memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 25A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menetapkan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.”
Adanya ketentuan ini dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dimaksudkan untuk mengukuhkan kedaulatan wilayah Negara Kesatuan. Hal ini penting dirumuskan agar ada penegasan secara kons-titusional batas wilayah Indonesia di tengah potensi perubahan batas geografis sebuah negara akibat gerakan separatisme, sengketa perbatasan antarnegara, atau pendudukan oleh negara asing.
Berkaitan dengan wilayah negara Indonesia, pada 13 Desember 1957 pemerintah Indonesia mengeluarkan Deklarasi Djuanda. Deklarasi itu menyatakan: “Bahwa segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk dalam daratan Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya, adalah bagian yang wajar dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan pedalaman atau perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia. Penentuan batas laut 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik terluar pada pulau-pulau Negara Republik Indonesia akan ditentukan dengan Undang-undang.”
Sebelumnya, pengakuan masyarakat internasional mengenai batas laut teritorial hanya sepanjang 3 mil laut terhitung dari garis pantai pasang surut terendah.
Deklarasi Juanda menegaskan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan wilayah Nusantara. Laut bukan lagi sebagai pemisah, tetapi sebagai pemersatu bangsa Indonesia. Prinsip ini kemudian ditegaskan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia.
Berdasarkan Deklarasi Juanda tersebut, Indonesia menganut konsep negara kepulauan yang berciri Nusantara (archipelagic state). Konsep itu kemudian diakui dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (UNCLOS 1982 = United Nations Convention on the Law of the Sea) yang ditandatangani di Montego Bay, Jamaika, tahun 1982. Indonesia kemudian meratifikasi UNCLOS 1982 tersebut dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985. Sejak itu dunia internasional mengakui Indonesia sebagai negara kepulauan. Berkat pandangan visioner dalam Deklarasi Djuanda tersebut, bangsa Indonesia akhirnya memiliki tambahan wilayah seluas 2.000.000 km2, termasuk sumber daya alam yang dikandungnya.
Pada saat membahas materi rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengenai wilayah negara ini, sebenarnya timbul keinginan untuk mempergunakan penyebutan Benua Maritim Indonesia untuk pengenalan wilayah Indonesia seperti yang telah dideklarasikan oleh pemerintah pada 1957. Hal itu tidaklah berlebihan mengingat ada klaim penyebutan Benua Antartika untuk Pulau Antartika yang berada di Kutub Selatan.
Dengan adanya ketentuan mengenai wilayah negara tersebut, pada masa mendatang kemungkinan pemisahan sebuah wilayah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak akan terjadi. Demikian pula hal itu akan mendukung penegakan hukum di seluruh wilayah tanah air, dalam melakukan perundingan internasional yang berkaitan dengan batas wilayah negara Indonesia, serta pengakuan internasional terhadap kedaulatan wilayah negara Indonesia.
Kesadaran bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar, mengingat besarnya jumlah penduduk, sumber daya alam yang melimpah, serta luasnya wilayah pasti akan memberikan kepercayaan diri yang besar.
Sumber : Buku "Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara"
Bab IV Halaman 137 s/d 168.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar