Kamis, 19 Desember 2013
Selasa, 17 September 2013
Sabtu, 14 September 2013
BHINNEKA TUNGGAL IKA
BHINNEKA TUNGGAL IKA SEBAGAI SEMBOYAN NEGARA
A. BHINNEKA TUNGGAL IKA
1. Sejarah Bhinneka Tunggal Ika
Bunyi lengkap dari ungkapan Bhinneka Tunggal Ika dapat
ditemukan dalam Kitab Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular pada abad
XIV di masa Kerajaan Majapahit. Dalam kitab tersebut Mpu Tantular
menulis “Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena
parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika
tan hana dharma mangrwa” (Bahwa agama Buddha dan Siwa (Hindu) merupakan zat
yang berbeda, tetapi nilai-nilai kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah
tunggal. Terpecah belah, tetapi satu jua, artinya tak ada dharma yang mendua).
Nama Mpu Tantular sendiri terdiri dari tan (tidak) dan tular (terpangaruh),
dengan demikian, Mpu Tantular adalah seorang Mpu (cendekiawan, pemikir) yang
berpendirian teguh, tidak mudah terpengaruh oleh siapa pun) (Suhandi Sigit,
2011).
Ungkapan dalam bahasa Jawa Kuno tersebut, secara harfiah
mengandung arti bhinneka (beragam), tunggal (satu), ika (itu)
yaitu beragam satu itu. Doktrin yang bercorak teologis ini semula dimaksudkan
agar antara agama Buddha (Jina) dan agama Hindu (Siwa) dapat hidup berdampingan
dengan damai dan harmonis, sebab hakikat kebenaran yang terkandung dalam ajaran
keduanya adalah tunggal (satu). Mpu Tantular sendiri adalah penganut Buddha
Tantrayana, tetapi merasa aman hidup dalam kerajaan Majapahit yang lebih
bercorak Hindu (Ma’arif A. Syafii, 2011).
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika mulai menjadi pembicaraan
terbatas antara Muhammad Yamin, Bung Karno, I Gusti Bagus Sugriwa dalam
sidang-sidang BPUPKI sekitar dua setengah bulan sebelum Proklamasi (Kusuma R.M.
A.B, 2004). Bahkan Bung Hatta sendiri mengatakan bahwa Bhinneka Tunggal Ika
adalah ciptaan Bung Karno setelah Indonesia merdeka. Setelah beberapa tahun
kemudian ketika merancang Lambang Negara Republik Indonesia dalam bentuk Garuda
Pancasila, semboyan Bhinneka Tunggal Ika dimasukkan ke dalamnya.
Secara resmi lambang tersebut dipakai dalam Sidang Kabinet
Republik Indonesia Serikat yang dipimpin Bung Hatta pada 11 Februari 1950
berdasarkan rancangan yang dibuat oleh Sultan Hamid II (1913-1978). Dalam
sidang tersebut muncul beberapa usulan rancangan lambang negara, kemudian yang
dipilih adalah usulan yang dibuat Sultan Hamid II dan Muhammad Yamin, dan
rancangan dari Sultan Hamid yang kemudian ditetapkan (Yasni, Z, 1979).
Tulisan Mpu Tantular tersebut oleh para pendiri bangsa
diberikan penafsiran baru karena dinilai relevan dengan keperluan strategis
bangunan Indonesia merdeka yang terdiri dari beragam agama, kepercayaan,
ideologi politik, etnis, bahasa, dan budaya. Dasar pemikiran tersebut yang
menjadikan semboyan “keramat” ini terpampang melengkung dalam cengkeraman kedua
kaki Burung Garuda. Burung Garuda dalam mitologi Hindu adalah kendaraan (wahana)
Dewa Wishnu (Ma’arif A. Syafii, 2011).
Terkait dengan semboyan yang ditulis Mpu Tantular, dapat
diketahui bahwa wawasan pemikiran pujangga besar yang hidup di zaman kejayaan
Majapahit ini, terbukti telah melompat jauh ke depan. Nyatanya, semboyan
tersebut hingga sekarang masih relevan terhadap perkembangan bangsa, negara dan
bahkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat di era global. Dan Kekawin
Sutasoma yang semula dipersembahkan kepada Raja Rajasanagara (Hayam Wuruk)
adalah hasil perenungan dan kristalisasi pemikiran yang panjang, setidaknya
membutuhkan waktu satu dasawarsa (sepuluh tahun) sedangkan Kekawin maksudnya
adalah pembacaan ayat-ayat suci dalam agama Hindu-Budha. Kitab yang ditulis
[Mpu Tantular] sekitar 1350-an, tujuh abad yang silam, ternyata di antara isi
pesannya bergulir dalam proses membingkai negara baru Indonesia (Ma’arif A.
Syafii, 2011).
Dalam proses perumusan konstitusi Indonesia, jasa Muh.Yamin
harus dicatat sebagai tokoh yang pertama kali mengusulkan kepada Bung Karno
agar Bhinneka Tunggal Ika dijadikan semboyan sesanti negara. Muh.
Yamin sebagai tokoh kebudayaan dan bahasa memang dikenal sudah lama bersentuhan
dengan segala hal yang berkenaan dengan kebesaran Majapahit (Prabaswara, I
Made, 2003). Konon, di sela-sela Sidang BPUPKI antara Mei-Juni 1945, Muh. Yamin
menyebut-nyebut ungkapan Bhinneka Tunggal Ika itu sendirian. Namun I
Gusti Bagus Sugriwa (temannya dari Buleleng) yang duduk di sampingnya sontak
menyambut sambungan ungkapan itu dengan “tan hana dharma mangrwa.”
Sambungan spontan ini di samping menyenangkan Yamin, sekaligus menunjukkan
bahwa di Bali ungkapan Bhinneka Tunggal Ika itu masih hidup dan
dipelajari orang (Prabaswara, I Made, 2003). Meksipun Kitab Sutasoma ditulis
oleh seorang sastrawan Buddha, pengaruhnya cukup besar di lingkungan masyarakat
intelektual Hindu Bali.
Para pendiri bangsa Indonesia yang sebagian besar beragama
Islam tampaknya cukup toleran untuk menerima warisan Mpu Tantular tersebut.
Sikap toleran ini merupakan watak dasar suku-suku bangsa di Indonesia yang
telah mengenal beragam agama, berlapis-lapis kepercayaan dan tradisi, jauh
sebelum Islam datang ke Nusantara. Sekalipun dengan runtuhnya Kerajaan
Majapahit abad XV, pengaruh Hindu-Budha secara politik sudah sangat melemah,
secara kultural pengaruh tersebut tetap lestari sampai hari ini (Ma’arif A. Syafii,
2011).
2. Bhinneka Tunggal Ika Dalam Konteks Indonesia
Dalam mengelola kemajemukan masyarakat, Indonesia memiliki
pengalaman sejarah yang cukup panjang bila dibandingkan dengan bangsa-bangsa
lain. Negara Barat relatif masih baru mewacanakan hal ini, sebelum dikenal apa
yang disebut dengan multikulturalisme di Barat, jauh berabad-abad yang
lalu bangsa Indonesia sudah memiliki falsafah “Bhinneka Tunggal Ika”. Sejarah
juga membuktikan bahwa semakin banyak suatu bangsa menerima warisan
kemajemukan, maka semakin toleran bangsa tersebut terhadap kehadiran “yang
lain”. Sebagai contoh, negara-negara Islam di wilayah Asia dan Timur Tengah,
seperti Mesir, Palestina, dan Lebanon yang sejak awal menerima warisan
kemajemukan masyarakatnya yang lebih heterogen, jauh lebih toleran dan ramah
sikap keagamaannya bila dibandingkan dengan Arab Saudi, Yaman, dan Pakistan
yang masyarakatnya sangat homogen dalam bidang agama (Noorsena, Bambang, 2011).
Negara Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke
dan dari Miangas sampai pulau Rote tampak berjajar pulau-pulau dengan komposisi
dan kontruksi yang beragam. Di pulau-pulau tersebut berdiam penduduk dengan
ragam suku bangsa, bahasa, budaya, agama, adat istiadat, dan keberagaman
lainnya ditinjau dari berbagai aspek. Secara keseluruhan, pulau-pulau di
Indonesia berjumlah 17.508 buah pulau besar dan kecil.
Di balik keindahan pulau-pulau yang dihiasi oleh flora dan
fauna yang beraneka ragam, Indonesia juga memiliki kebhinnekaan dalam suku yang
berjumlah lebih dari 1.128 (seribu seratus dua puluh delapan) suku bangsa dan
lebih dari 700 bahasa daerah. Namun keberagaman suku bangsa dan bahasa
tersebut, dapat disatukan dalam satu bangsa, bangsa Indonesia dan satu bahasa
persatuan, bahasa Indonesia. Merupakan suatu kebanggaan bagi bangsa Indonesia
memiliki bahasa persatuan, karena bila melihat negara-negara lain ada yang
tidak berhasil merumuskan bahasa nasional yang berasal dari bahasa aslinya
sendiri, selain mengambil dari bahasa negara penjajahnya.
Keberagaman yang menjadi ciri bangsa Indonesia ditambah
dengan letak posisi geografis yang sangat strategis. Kepulauan Indonesia berada
di antara dua benua yaitu benua Asia dan benua Australia, diapit dua samudera
yaitu samudera Pasifik dan samudera Hindia, dan terletak ditengah garis
khatulistiwa, sehingga pergantian siang dan malam berjalan sesuai dengan siklus
yang seimbang.
Budaya luhur bangsa Indonesia tidak terlepas dari kebudayaan
yang tumbuh dan berkembang yang menjadi warisan dari jaman kerajaan Nusantara
seperti Sriwijaya, Majapahit, Mataram Islam dan kerajaan-kerajaan lain yang
juga melahirkan budaya tradisional yang telah berurat dan berakar sampai saat
ini. Hal ini juga didukung antara lain dengan ditemukannya prasasti-prasasti
bersejarah yang menggambarkan dinamika kehidupan bangsa Indonesia.
Sejak Indonesia merdeka, para pendiri bangsa dengan dukungan
penuh seluruh rakyat Indonesia bersepakat mencantumkan kalimat Bhinneka Tunggal
Ika pada lambang negara Garuda Pancasila yang ditulis dengan huruf latin pada
pita putih yang dicengkeram burung garuda. Semboyan tersebut berasal dari
bahasa Jawa Kuno yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu jua”. Kalimat itu
sendiri diambil dari falsafah Nusantara yang sejak jaman Kerajaan Majapahit
sudah dipakai sebagai semboyan pemersatu wilayah Nusantara. Dengan demikian,
kesadaran akan hidup bersama di dalam keberagaman sudah tumbuh dan menjadi jiwa
serta semangat anak-anak bangsa, jauh sebelum zaman moderen.
Realitas kehidupan berbangsa dan bernegara tidak terlepas
dari sejarah masa lalu. Realita yang terjadi saat ini merupakan kelanjutan dari
sejarah masa lalu dan yang akan terjadi di masa mendatang merupakan kelanjutan
dari apa yang terjadi saat ini.
Bangsa Indonesia sudah berabad-abad hidup dalam kebersamaan
dengan keberagaman dan perbedaan. Perbedaan warna kulit, bahasa, adat istiadat,
agama, dan berbagai perbedaan lainya. Perbedaan tersebut dijadikan para leluhur
sebagai modal untuk membangun bangsa ini menjadi sebuah bangsa yang besar.
Sejarah mencatat bahwa seluruh anak bangsa yang berasal dari berbagai suku
semua terlibat dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Semua ikut berjuang
dengan mengambil peran masing-masing.
Ketika Sumpah Pemuda diikrarkan pada 28 Oktober 1928, di
Gedung Indonesische Clubgebouw, Weltevreden (kini Gedung Sumpah Pemuda, Jalan
Kramat 106 Jakarta) milik seorang Tionghoa bernama Sie Kok Liong, para tokoh
pemuda dari berbagai etnik dan daerah menyadari sepenuhnya kekuatan yang dapat
dibangun dari persatuan dan kesatuan nasional. Dengan Sumpah Pemuda mereka
bersatu dan menegaskan persatuan dengan satu tanah air, satu bangsa, dan satu
bahasa persatuan, yaitu Indonesia.
Dari sumpah tersebut tampak sekali bahwa mereka sendiri menyadari
adanya perbedaan dari segi bahasa, namun kesepakatan tersebut merupakan capaian
yang luar biasa dalam suasana penjajahan untuk membangun kesadaran untuk
melepaskan egosentris kedaerahan dan bahasa daerah masing-masing.
Semangat dan gerakan untuk bersatu tersebut menjadi sumber
inspirasi bagi munculnya gerakan yang terkonsolidasi untuk membebaskan diri
dari penjajahan. Bangsa Indonesia kemudian memproklamasikan kemerdekaannya pada
17 Agustus 1945. Proklamasi kemerdekaan adalah ikrar untuk bersatu padu
mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi wilayah dari Sabang
sampai Merauke, yang merdeka, bersatu, dan berdaulat untuk mewujudkan cita-cita
dan tujuan nasional. Dan dengan disepakatinya Pancasila sebagai dasar negara,
semakin mengukuhkan komitmen pendiri negara dalam membentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Kesadaran terhadap tantangan dan cita-cita untuk membangun
sebuah bangsa telah dipikirkan secara mendalam oleh para pendiri bangsa
Indonesia. Keberagaman dan kekhasan sebagai sebuah realitas masyarakat dan
lingkungan serta cita-cita untuk membangun bangsa dirumuskan dalam semboyan
Bhinneka Tunggal Ika. Ke-bhinneka-an merupakan realitas sosial, sedangkan
ke-tunggal-ika-an adalah sebuah cita-cita kebangsaan. Wahana yang digagas
sebagai “jembatan emas” untuk menuju pembentukan sebuah ikatan yang merangkul
keberagaman dalam sebuah bangsa adalah sebuah negara yang merdeka dan
berdaulat, Indonesia.
Negara yang menjadi wahana menuju cita-cita kebangsaan
memerlukan dasar yang dapat mempertemukan berbagai kekhasan masyarakat
Indonesia. Sementara Pancasila merupakan rumusan saripati seluruh filsafat
kebangsaan yang mendasari pembangunan negara. Pancasila adalah kekayaan bangsa
Indonesia yang tidak ternilai harganya dan merupakan rangkuman dari nilai-nilai
luhur serta akar budaya bangsa Indonesia yang mencakup seluruh kebutuhan maupun
hak-hak dasar manusia secara universal.
Pancasila mampu menjadi landasan dan falsafah hidup bangsa
Indonesia yang majemuk baik dari segi agama, etnis, ras, bahasa, golongan dan
kepentingan. Pancasila mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan
bangsa Indonesia yang sangat majemuk. Oleh karena itu, upaya untuk terus
mempertebal keyakinan terhadap pentingnya Pancasila bagi kehidupan bangsa
Indonesia harus menjadi keyakinan dari setiap manusia Indonesia. Sebagai nilai
dasar yang diyakini oleh bangsanya, Pancasila merupakan ideologi negara dan
menjadi sumber kaidah hukum yang mengatur Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum diubah, pengakuan atas
keberagaman dicantumkan pada Pasal 18 yang menyatakan bahwa Pembagian daerah
Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya
ditetapkan dengan Undang-Undang, dengan memandang dan mengingat dasar
permusyawaratan dalam sidang pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam
daerah-daerah yang bersifat istimewa.
Penjelasan dari Pasal 18 menyatakan
bahwa ‘Dalam territori’ Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250
Zelfbesturende landschappen dan Volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan
Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya.
Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap
sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati
kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang
mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut’.
Seluruh kandungan Pasal 18 dan Penjelasannya merupakan sebuah
prakondisi yang harus dipenuhi oleh Negara Republik Indonesia dalam menata
hubungannya dengan berbagai kelompok masyarakat di Indonesia yang memiliki
keistimewaan agar cita-cita membangun ke-tunggal-ika-an sebagai sebuah bangsa
dapat tercapai.
Kesadaran akan kebhinnekaan tersebut, juga mewarnai
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah diubah. Bahkan
dalam rumusan undang-undang dasar tersebut, banyak sekali pengaturan tentang
semangat kebhinnekaan dalam pasal-pasal.
Rumusan Pasal 6A ayat (3) yang menetapkan bahwa “Pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden yang men-dapatkan suara lebih dari lima puluh
persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh
persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah
provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
Pertimbangan adanya ketentuan ini adalah untuk menyesuaikan
dengan realitas bangsa Indonesia yang sangat majemuk, baik dari segi suku,
agama, ras, budaya, maupun domisili karena persebaran penduduk tidak merata di
seluruh wilayah negara yang terdiri atas pulau-pulau. Dengan demikian Presiden
dan Wakil Presiden Republik Indonesia adalah pilihan mayoritas rakyat Indonesia
yang secara relatif tersebar di hampir semua wilayah. Hal itu sebagai wujud
bahwa figur Presiden dan Wakil Presiden selain sebagai pim-pinan penyelenggara
pemerintahan, juga merupakan simbol persatuan nasional.
Selanjutnya, dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B merupakan suatu
pendekatan baru dalam mengelola negara. Di satu pihak ditegaskan tentang bentuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan di pihak lain ditampung kemajemukan
bangsa sesuai dengan sasanti Bhinneka Tunggal Ika.
Pencantuman tentang pemerintah daerah di dalam perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dilatarbelakangi oleh
kehendak untuk menampung semangat otonomi daerah dalam memperjuangkan
kesejahteraan masyarakat daerah. Hal itu dilakukan setelah belajar dari praktik
ketatanegaraan pada era sebelumnya yang cenderung sentralistis, adanya
penyeragaman sistem pemerintahan seperti dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa, serta mengabaikan kepentingan daerah.
Akibat kebijakan yang cenderung sentralistis itu, pemerintah
pusat menjadi sangat dominan dalam mengatur dan mengendalikan daerah sehingga
daerah diperlakukan sebagai objek, bukan sebagai subjek yang mengatur dan
mengurus daerahnya sendiri sesuai dengan potensi dan kondisi objektif yang
dimilikinya.
Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menjadi dasar hukum bagi pelaksanaan otonomi daerah yang dalam era
reformasi menjadi salah satu agenda nasional. Melalui penerapan Bab tentang
Pemerintahan Daerah diharapkan lebih mempercepat terwujudnya kemajuan daerah
dan kesejahteraan rakyat di daerah, serta meningkatkan kualitas demokrasi di
daerah. Semua ketentuan itu dirumuskan tetap, dalam kerangka menjamin dan
memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga dirumuskan hubungan
kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dengan memperhatikan
kekhususan dan keragaman daerah.
Kesadaran akan kebhinnekaan juga dimuat dalam rumusan Pasal
25A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menetapkan
bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang
berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan
dengan undang-undang.
Adanya ketentuan ini dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dimaksudkan untuk mengukuhkan kedaulatan wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini penting dirumuskan agar ada
penegasan secara konstitusional batas wilayah Indonesia di tengah potensi
perubahan batas geografis sebuah negara akibat gerakan separatisme, sengketa
perbatasan antarnegara, atau pendudukan oleh negara asing.
Pengakuan akan keberagaman, juga tercantum pada Pasal 26 ayat
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menetapkan
bahwa Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan
orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga
negara.
Dengan masuknya rumusan orang asing yang tinggal di Indonesia
sebagai penduduk Indonesia, orang asing yang menetap di wilayah Indonesia
mempunyai status hukum sebagai penduduk Indonesia. Sebagai penduduk, pada diri
orang asing itu melekat hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku (berdasarkan prinsip yurisdiksi teritorial)
sekaligus tidak boleh bertentangan dengan ketentuan hukum internasional yang
berlaku umum.
Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 ditetapkan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan tersebut menggambarkan keanekaragaman
agama di Indonesia.
Selanjutnya, dalam Pasal 32 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 juga diatur berdasarkan pada keanekaragaman
budaya di Indonesia. Pasal ini merupakan landasan juridis bagi pengakuan atas
keberadaan masyarakat adat. Yang pertama menegaskan tentang penghormatan
terhadap identitas budaya dan hak masyarakat tradisional oleh Negara sedangkan
yang kedua mengenai tugas Negara untuk menjamin kebebasan masyarakat dalam
memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya di tengah upaya Negara untuk
memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia
Pentingnya keberagaman dalam pembangunan selanjutnya
diperkukuh dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagaimana tercantum dalam
ketentuan Pasal 36A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang menegaskan bahwa Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan
Bhinneka Tunggal Ika.
Saat ini, semangat Bhinneka Tunggal Ika terasa luntur, banyak
generasi muda yang tidak mengenal semboyan ini, bahkan banyak kalangan
melupakan kata-kata ini, sehingga ikrar yang ditanamkan jauh sebelum Indonesia
merdeka memudar, seperti pelita kehabisan minyak. Selain karena lunturnya
semangat tersebut, adanya disparitas sosial ekonomi sebagai dampak dari
pengaruh demokrasi. Akibat dari keadaan ini dikhawatirkan akan menimbulkan
fanatisme asal daerah.
Dengan kembali menggelorakan semangat ke-bhinneka-an,
perbedaan dipandang sebagai suatu kekuatan yang bisa mempersatukan bangsa dan
negara dalam upaya mewujudkan cita-cita negara. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika
menunjukan bahwa bangsa Indonesia sangat heterogen, dan karenanya toleransi
menjadi kebutuhan mutlak. Di era modern ini, di ruang-ruang publik yang manakah
homogenitas absolut dapat kita temukan? Tidak ada. Sebab, heterogenitas
sudah merupakan keniscayaan hidup modern. Karena itulah, tak bisa tidak,
kita harus belajar menerima dan menghargai pelbagai perbedaan.
Dewasa ini banyak faktor yang menyebabkan toleransi kian
memudar dari kehidupan masyarakat. Di era globalisasi ini, banyak kecenderungan
antar individu bersikap saling curiga yang apabila hal ini dibiarkan akan
memecah persatuan dan kesatuan bangsa.
Itulah artinya toleransi, yang berasal dari kata “tollere”
(bahasa Latin) yang berarti mengangkat, sikap yang memperlihatkan kesediaan
tulus untuk mengangkat, memikul, menopang bersama perbedaan yang ada. Dengan
demikian, toleransi meniscayakan sikap menghargai harus aktif dan dimulai dari
diri sendiri. Jadi, dengan toleransi bukan orang lain yang terlebih dulu harus
menghargai kita, melainkan kita sendirilah yang harus memulai untuk menghargai
orang lain. Akan tetapi tidak berhenti di situ saja, sebab toleransi akan
menjadi bermakna jika ia diikuti juga oleh pihak lain, sehingga sifatnya
menjadi dua arah dan timbal-balik.
B. KEANEKARAGAMAN BANGSA INDONESIA
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk karena terdiri
atas berbagai suku bangsa, adat istiadat, bahasa daerah, serta agama yang
berbeda-beda. Keanekaragaman tersebut terdapat di berbagai wilayah yang
tersebar dari Sabang sampai Merauke. Kenyataan yang tak dapat ditolak bahwa
masyarakat dan bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat
yang beragam budaya.
Keragaman budaya di Indonesia adalah sesuatu yang tidak dapat
dipungkiri keberadaannya. Dalam konteks pemahaman masyarakat majemuk, selain
kebudayaan kelompok suku bangsa, masyarakat Indonesia juga terdiri dari
berbagai kebudayaan daerah bersifat kewilayahan yang merupakan pertemuan dari
berbagai kebudayaan kelompok suku bangsa yang ada di daerah tersebut. Dengan
jumlah penduduk lebih dari 237.000.000 (dua ratus tiga puluh juta) jiwa yang
tinggal tersebar di pulau-pulau di Indonesia (Badan Pusat Statistik tahun
2010). Dapat dikatakan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat
keaneragaman budaya atau tingkat heterogenitas yang tinggi. Tidak saja
keanekaragaman budaya kelompok suku bangsa tetapi juga keaneka ragaman budaya
dalam konteks peradaban, tradisional hingga ke modern, dan kewilayahan.
Bangsa Indonesia memiliki lebih dari 1.128 (seribu seratus
dua puluh delapan) suku bangsa. Setiap suku bangsa di Indonesia mempunyai
kebiasaan hidup yang berbeda-beda. Demi persatuan dan kesatuan, keanekaragaman
ini merupakan suatu kekuatan yang tangguh dan mempunyai keunggulan dibandingkan
dengan negara lainnya. Dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, keragaman suku
bangsa dan budaya merupakan salah satu modal dasar dalam pembangunan.
Para pendiri negara telah menyadari realitas tersebut sebagai
landasan bagi pembangunan bangsa Indonesia. Atas dasar itulah mereka merumuskan
bahwa negara Indonesia terdiri dari Zelfbesturende landschappen (daerah-daerah
swapraja) dan Volksgemeenschappen (desa atau yang setingkat dengan itu)
di dalam Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum perubahan). Langkah ini mempunyai
dua implikasi: pertama, dengan menyerap kekhasan tiap kelompok
masyarakat, negara Indonesia yang dibentuk berupaya menciptakan satu bangsa. Kedua,
mengabaikan eksistensi kelompok-kelompok tersebut akan berimplikasi pada
kegagalan cita-cita membangun satu bangsa Indonesia.
Upaya untuk membangun Indonesia yang beragam budaya hanya
mungkin dapat terwujud apabila paham keragaman budaya menyebar luas dan
dipahami pentingnya bagi bangsa Indonesia, serta adanya keinginan bangsa
Indonesia pada tingkat nasional maupun lokal untuk mengadopsi dan menjadi
pedoman hidupnya. Kesamaan pemahaman mengenai keragaman budaya serta
upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkan cita-cita pembangunan dengan
keberagaman akan menunjang kemajuan bangsa.
Secara umum kemajemukan Bangsa Indonesia tidak hanya ditandai
oleh perbedaan-perbedaan horizontal, seperti yang lazim kita jumpai pada
perbedaan suku, ras, bahasa, adat-istiadat, dan agama. Namun juga terdapat
perbedaan vertikal, berupa capaian yang diperoleh melalui prestasi. Indikasi
perbedaan tersebut tampak dalam strata sosial ekonomi, posisi politik, tingkat
pendidikan, kualitas pekerjaan, dan kondisi permukiman.
Yang mencolok dari ciri kemajemukan masyarakat Indonesia
adalah penekanan pada pentingnya kesukubangsaan yang terwujud dalam
komunitas-komunitas suku bangsa, dan digunakannya kesukubangsaan sebagai acuan
utama bagi jati diri individu.
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan “negara
persatuan” dalam arti sebagai negara yang warga negaranya erat bersatu, yang
mengatasi segala paham perseorangan ataupun golongan yang menjamin segala warga
negara bersamaan kedudukannya di hadapan hukum dan pemerintahan dengan tanpa
kecuali. Dalam negara persatuan itu, otonomi individu diakui kepentingannya
secara seimbang dengan kepentingan kolektivitas rakyat. Kehidupan orang
perorang ataupun golongan-golongan dalam masyarakat diakui sebagai individu dan
kolektivitas warga negara, terlepas dari ciri-ciri khusus yang dimiliki
seseorang atau segolongan orang atas dasar kesukuan dan keagamaan dan
lain-lain, yang membuat seseorang atau segolongan orang berbeda dari orang atau
golongan lain dalam masyarakat (Asshiddiqie, Jimly, 2005).
Prinsip demokrasi hanya mungkin hidup dan berkembang dalam
sebuah masyarakat sipil yang terbuka, yang warganya mempunyai toleransi
terhadap perbedaan-perbedaan dalam bentuk apa pun, karena adanya kesetaraan
derajat kemanusiaan yang saling menghormati, dan diatur oleh hukum yang adil
dan beradab yang mendorong kemajuan serta menjamin kesejahteraan hidup
warganya.
Masyarakat terbuka harus membuka diri bagi pembaharuan dan
perbaikan, berorientasi ke depan, selalu mempertimbangkan globalisasi yang
membawa serta kemajuan teknologi, dan berpijak pada kenyataan. Dalam menyikapi
pluralitas bangsa, pendekatan sentralistik dan totalitarian harus ditinggalkan.
Negara persatuan mengakui keberadaan masyarakat warga negara
karena kewargaannya. Dengan demikian, negara persatuan itu mempersatukan
seluruh bangsa Indonesia dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena
prinsip kewargaan yang berkesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan.
Negara Persatuan tidak boleh dipahami sebagai konsepsi atau cita negara yang
bersifat totalitarian ataupun otoritarian yang mengabaikan pluralisme dan
menafikan otonomi individu rakyat yang dijamin hak-hak dan kewajiban asasinya
dalam Undang-Undang Dasar (Asshiddiqie, Jimly, 2005).
Dalam konteks bentuk negara, meskipun bangsa Indonesia
memilih bentuk negara kesatuan, di dalamnya terselenggara suatu mekanisme yang
memungkinkan tumbuh dan berkembangnya keragaman antardaerah di seluruh tanah
air. Kekayaan alam dan budaya antardaerah tidak boleh diseragamkan dalam
struktur Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan perkataan lain, bentuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia diselenggarakan dengan jaminan otonomi yang
seluas-luasnya kepada daerah-daerah untuk berkembang sesuai dengan potensi dan
kekayaan yang dimilikinya masing-masing, tentunya dengan dorongan, dukungan,
dan bantuan yang diberikan oleh Pemerintah pusat (Asshiddiqie, Jimly, 2005).
Prinsip persatuan sangat dibutuhkan karena keragaman suku
bangsa, agama, dan budaya yang diwarisi oleh bangsa Indonesia dalam sejarah
mengharuskan bangsa Indonesia bersatu. Keragaman itu merupakan kekayaan yang
harus dipersatukan, tetapi tidak boleh diseragamkan, dengan demikian, prinsip
persatuan Indonesia tidak dipersempit maknanya.
Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan yang mengungkapkan
persatuan dan kesatuan yang berasal dari keanekaragaman. Walaupun terdiri atas
berbagai suku yang beranekaragam budaya daerah, tetap satu bangsa Indonesia,
memiliki bahasa dan tanah air yang sama, yaitu bahasa Indonesia dan tanah air
Indonesia. Begitu juga bendera kebangsaan merah putih sebagai lambang identitas
bangsa dan bersatu padu di bawah falsafah serta dasar negara Pancasila. Bangsa
Indonesia harus bersatu padu agar manjadi satu kesatuan yang bulat dan utuh.
Untuk dapat bersatu harus memiliki pedoman yang dapat menyeragamkan pandangan
dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, akan terjadi persamaan langkah dan tingkah
laku bangsa Indonesia. Pedoman tersebut adalah Pancasila. Membiasakan bersahabat
dan saling membantu dengan sesama warga yang ada di lingkungan, seperti gotong
royong akan dapat memudahkan tercapainya persatuan dan kesatuan bangsa. Bangsa
Indonesia harus merasa satu, senasib sepenanggungan, sebangsa, dan sehati dalam
kekuatan wilayah nasional dengan segala isi dan kekayaannya merupakan satu
kesatuan wilayah.
Dalam mengembangkan sikap menghormati terhadap keragaman suku
bangsa, dapat terlihat dari sifat dan sikap dalam kehidupan sehari-hari, di
antaranya adalah sebagai berikut:
a. kehidupan
bermasyarakat tercipta kerukunan seperti halnya dalam sebuah keluarga.
b. antara
warga masyarakat terdapat semangat tolong menolong, kerjasama untuk
menyelesaikan suatu masalah, dan kerja sama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
c. dalam
menyelesaikan urusan bersama selalu diusahakan dengan melalui musyawarah.
d. terdapat kesadaran dan sikap yang mengutamakan
kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
Sumber : Buku
“Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara”
Bab V Halaman 169 s/d 188.
NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI BENTUK NEGARA
A. INDONESIA SEBELUM KEMERDEKAAN
1. Sejarah Nama Indonesia
Bangsa Indonesia lahir dan bangkit melalui sejarah perjuangan masyarakat bangsa yang pernah dijajah oleh Belanda dan Jepang. Akibat penjajahan bangsa Indonesia sangat menderita, tertindas lahir dan batin, mental dan materiil, mengalami kehancuran di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan hingga sisa-sisa kemegahan dan kejayaan Nusantara seperti Sriwijaya dan Majapahit yang dimiliki rakyat di bumi pertiwi, sirna, dan hancur tanpa sisa.
Sejarah Indonesia meliputi suatu rentang waktu yang sangat panjang dimulai sejak zaman prasejarah berdasarkan penemuan "Manusia Jawa". Secara geologi, wilayah nusantara merupakan pertemuan antara tiga lempeng benua, yaitu lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan Lempeng Pasifik.
Para cendekiawan India telah menulis tentang Dwipantara atau kerajaan Hindu Jawa Dwipa di pulau Jawa dan Sumatera sekitar 200 SM. Bukti fisik awal yang menyebutkan mengenai adanya dua kerajaan bercorak Hinduisme pada abad ke-5, yaitu Kerajaan Tarumanagara yang menguasai Jawa Barat dan Kerajaan Kutai di pesisir Sungai Mahakam, Kalimantan.
Pada abad ke-4 hingga abad ke-7, di wilayah Jawa Barat terdapat kerajaan bercorak Hindu-Budha yaitu kerajaan Tarumanagara yang dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda sampai abad ke-16. Pada masa abad ke-7 hingga abad ke-14, kerajaan Buddha Sriwijaya berkembang pesat di Sumatera yang beribukota di Palembang. Pada puncak kejayaannya, Sriwijaya menguasai daerah sejauh Jawa Barat dan Semenanjung Melayu.
Selanjutnya, pada abad ke-14 juga menjadi saksi bangkitnya sebuah kerajaan Hindu di Jawa Timur, Majapahit. Patih Majapahit antara tahun 1331 hingga 1364, Gajah Mada berhasil memperoleh kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian besarnya adalah Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung Melayu.
Kejayaan Sriwijaya dan Majapahit merupakan sejarah awal pengenalan wilayah kepulauan Nusantara yang merupakan tanah air bangsa Indonesia. Sebutan Nusantara diberikan oleh seorang pujangga pada masa Kerajaan Majapahit, kemudian pada masa penjajahan Belanda sebutan ini diubah oleh pemerintah Belanda menjadi Hindia Belanda.
Indonesia berasal dari bahasa latin indus dan nesos yang berarti India dan pulau-pulau. Indonesia merupakan sebutan yang diberikan untuk pulau-pulau yang ada di Samudra India dan itulah yang dimaksud sebagai satuan pulau yang kemudian disebut dengan Indonesia (Setidjo, Pandji, 2009).
Pada tahun 1850, George Windsor Earl seorang Inggris etnolog mengusulkan istilah Indunesians dan preperensi Malayunesians untuk penduduk kepulauan Hindia atau Malayan Archipelago. Kemudian seorang mahasiswa bernama Earl James Richardison Logan menggunakan Indonesia sebagai sinonim untuk Kepulauan Hindia. Namun dikalangan akademik Belanda, di Hindia Timur enggan menggunakan Indonesia sebaliknya mereka menggunakan istilah Melayu Nusantara (Malaische Archipel). Sejak tahun 1900 nama Indonesia menjadi lebih umum dikalangan akademik di luar Belanda, dan golongan nasionalis Indonesia menggunakan nama Indonesia untuk ekspresi politiknya. Adolf Bastian dari Universitas Berlin memopulerkan nama Indonesia melalui bukunya Indonesien oder die inseln des malayischen arcipels (1884-1894). Kemudian sarjana bahasa Indonesia pertama yang menggunakan nama Indonesia adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) ketika ia mendirikan kantor berita di Belanda dengan nama Indonesisch Pers-Bureau di tahun 1913.
Penduduk yang hidup di wilayah Nusantara menempati ribuan pulau. Nenek moyang masyarakat Nusantara hidup dalam tata masyarakat yang teratur, bahkan dalam bentuk sebuah kerajaan kuno, seperti Kutai yang berdiri pada abad V di Kalimantan Timur, Tarumanegara di Jawa Barat, dan Kerajaan Cirebon pada abad II (Setidjo, Pandji, 2009). Kemudian beberapa abad setelah itu berdiri Kerajaan Sriwijaya pada abad VII, Kerajaan Majapahit pada abad XIII, dan Kerajaan Mataram pada abad XVII.
Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, dan Mataram menunjukkan kejayaan yang dimiliki wilayah Nusantara dan pada waktu itu sejarah mencatat bahwa wilayah Nusantara berhasil dipersatukan dan mengalami kemakmuran yang dirasakan seluruh rakyat.
Mengenai sejarah Nusantara ini, Bung Karno pernah menyampaikan bahwa:
“Kita hanya dua kali mengalami nationale staat, yaitu di jaman Sriwijaya dan di jaman Majapahit... nationale staat hanya Indonesia seluruhnya, yang telah berdiri di jaman Sriwijaya dan Majapahit dan yang kini pula kita harus dirikan bersama-sama.” (Pidato “Lahirnya Pacasila” yang disampaikan Bung Karno di depan Dokuritsu Junbi Tyoosakai pada 1 Juni 1945).
Kerajaan Majapahit merupakan cikal bakal negara Indonesia. Majapahit yang keberadaannya sekitar abad XIII sampai abad XV adalah kerajaan besar yang sangat berjaya, terlebih pada masa pemerintahan Mahapatih Gajah Mada yang wafat disekitar 1360-an. Gajah Mada adalah Mahapatih Majapahit yang sangat disegani, dia lah yang berhasil menyatukan Nusantara yang terkenal dengan “Sumpah Palapa” (sumpah yang menyatakan tidak akan pernah beristirahat atau berhenti berpuasa sebelum Nusantara bersatu).4
Sumpah Palapa ini yang kemudian mengilhami para founding fathers kita untuk menggali kembali, menggunakan dan memelihara visi Nusantara, bersatu dalam Wawasan Nusantara dengan sesanti Bhinneka Tunggal Ika yang mengandung arti beragam, tetapi sejatinya satu, yang seharusnya berada dalam satu wadah. Sumpah Palapa yang dikemukakan Mahapatih Gajah Mada yang kemudian setelah Majapahit berhasil menyatukan daerah-daerah di luar Jawa Dwipa menjadi Patih Dwipantara atau Nusantara, pada jamannya merupakan visi globalisasi Majapahit, yaitu meskipun pusat Kerajaan berada di Pulau Jawa (Jawa Dwipa), namun dia bertekat menyatukan seluruh wilayah Nusantara (pulau-pulau yang berada di luar pulau Jawa) dalam satu kesatuan, satu kehendak dan satu jiwa. (Soepandji, Budi Susilo, 2011)
Sumpah Palapa adalah pernyataan sumpah yang diucapkan Gajah Mada pada upacara pengangkatannya menjadi Patih Amangkubhumi Majapahit, tahun 1258 Saka (1336 M).Sumpah Palapa ini ditemukan pada teks Jawa Pertengahan Pararaton yang berbunyi: Sira Gajah Mada Patih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada: "Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa". ([Dia] Gajah Mada Patih Amangkubumi Kerajaan Majapahit tidak akan melepaskan puasa. Gajah Mada berucap: "Jika telah mengalahkan Nusantara, [baru] saya akan melepaskan puasa (tidak lagi berpuasa). Jika telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, [baru] saya akan melepaskan puasa). Dari naskah ini dapat diketahui bahwa ketika Gajah Mada diangkat sebagai Mahapatih Majapahit, sebagian wilayah Nusantara yang disebutkan di dalam sumpahnya belum dikuasai Majapahit. Wilayah tersebut yaitu: Gurun (Nusa Penida), Seran (Seram), Tañjung Pura (Kerajaan Tanjungpura, Ketapang, Kalimantan Barat), Haru (Sumatera Utara, kemungkinan merujuk kepada Kerajaan Karo), Pahang (Pahang di Semenanjung Melayu), Dompo (sebuah daerah di pulau Sumbawa), Bali (Kerajaan Bali), Sunda (Kerajaan Sunda), Palembang (Kerajaan Sriwijaya), dan Tumasik (Singapura).
Meski demikian, sejarah juga mencatat bahwa kejayaan Kerajaan Majapahit yang berumur lebih dari 2 abad harus berakhir karena Majapahit mengalami paradoks history setelah Patih Gajah Mada wafat, Kerajaan Majapahit mengalami perpecahan (semacam balkanisasi di Eropa Timur di akhir abad XX) dengan ditandai lepasnya kerajaan-kerajaan yang semula berada dalam kekuasaan Kerajaan Majapahit menjadi kerajaan-kerajan kecil yang berdiri sendiri. Kewaspadaan nasional yang dimiliki Majapahit sebagai negara bangsa (nationale staat) dalam konteks berbangsa dan bernegara waktu itu sangat lemah, sehingga konflik-konflik yang terjadi menyulut perpecahan yang lambat laun mempengaruhi ketahanan nasional dan menuju ke kehancuran total.
Di tengah kondisi demikian, dan seiring dengan masuknya bangsa-bangsa Eropa ke wilayah Nusantra sejak di sekitar 1521, mulai Spanyol, Portugis, kemudian disusul Belanda dengan VOC-nya di sekitar 1602, visi wawasan nusantara Mahapatih Gajah Mada pada masa Majapahit benar-benar hancur, ditambah penjajahan Belanda dan Jepang yang berlangsung sekitar 3 setengah abad, meskipun pada 17 Agustus 1945 Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya. Namun kenyataannya penjajahan kolonial bisa dikatakan baru berakhir degan tuntas sejak 27 Desember 1949 (Soepandji, Susilo Budi, 2011).
2. Masa Penjajahan
Sejak berakhirnya masa kerajaan di Indonesia, masuklah bangsa Barat seperti Portugis dan Spanyol yang disusul oleh Bangsa Belanda pada abad XVI tepatnya 1596. Belanda cukup berhasil menguasai Indonesia, mereka mengeruk keuntungan sebesar-besarnya sementara rakyat Indonesia mengalami penderitaan lahir dan batin. Belanda melakukan dominasi politik, eksploitasi ekonomi, dan memperlakukan rakyat Indonesia dengan sewenang-wenang. Belanda menerapkan politik ”adu domba” dan melakukan diskriminasi rasial kepada rakyat Indonesia.
Kondisi masyarakat yang semakin parah akibat penjajahan tersebut membangkitkan perlawanan yang dipimpin oleh para tokoh perjuangan di antaranya Sultan Ageng Tirtayasa, Cik Dik Tiro, Teuku Umar, Sultan Hasanuddin, Imam Bonjol, Panglima Polim, dan Pangeran Diponegoro. Namun perlawan-perlawanan tersebut mengalami kegagalan karena pada waktu itu belum terpupuk kesadaran nasional dan perjuangan yang dilakukan masih bersifat kedaerahan (Setidjo, Pandji, 2009).
Perlawanan terhadap penjajahan Belanda terus dilakukan, secara fisik maupun politik. Munculnya kesadaran para pejuang dan golongan terpelajar Indonesia serta situasi internasional yang menimbulkan pergerakan di kalangan negara-negara terjajah, pada 20 Mei 1908 di Jakarta berdirilah Boedi Oetomo yang didirikan oleh dr. Soetomo dan kawan-kawan dengan ketuanya Dr. Wahidin Sudiro Husodo.
Setelah gerakan Boedi Oetomo pada 1908, kemudian dilanjutkan dengan berdirinya Serikat Dagang Islam pada 1909 pimpinan H. Samanhudi yang kemudian pada 1911 berubah menjadi Serikat Islam di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto. Pada 1912 berdiri organisasi Islam Muhammadiyah di Yogyakarta di bawah pimpinan K.H. Ahmad Dahlan. Setelah itu pada 1915 berdiri Indische Party yang didirikan oleh tiga serangkai, yaitu dr. Tjipto Mangunkusumo, Ki Hajar Dewantara, dan Douwes Deker. Kemudian pada 1920 Indische Social Demokratische Partij atau ISDP dan bagian dari Serikat Islam berubah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Selanjutnya pada 1926 dikalangan ulama Nusantara lahirlah Jamiyah Nahdlatul Ulama di bawah pimpinan K.H. Hasyim Asy’ari di Surabaya. Berikutnya, pada 1927 berdiri Partai Nasional Indonesia (PNI) yang dipimpin oleh Ir. Soekarno dengan tujuan untuk Indonesia Merdeka.
Pada 1928, lahirlah Sumpah Pemuda yaitu golongan pemuda yang menghendaki persatuan, bertujuan mencanangkan cita-cita kemerdekaan, dan memperjuangkan Indonesia merdeka. Melalui kongresnya yang ke-2 pada 27 dan 28 Oktober 1928 di Jakarta, yang dihadiri 750 orang dari masing-masing perwakilan organisasi PPPI, Jong Java, Jong Islamiten Bond, Jong Sumateranen Bond, Pemuda Indonesia, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Batak, dan Pemuda Kaum Betawi, lahirlah Sumpah Pemuda.
Pencetus Sumpah Pemuda adalah Perhimpunan Indonesia Nederland, Partai Nasional Indonesia, dan Pemuda Indonesia. Sumpah Pemuda inilah yang menjadi cikal bakal pendorong perjuangan kemerdekaan Indonesia yang semakin tegas memperkuat persatuan nasional sebagai bekal yang makin kuat menuju cita-cita kemerdekaan Indonesia. Pada saat perang dunia II berlangsung, pada 1942, Jepang mendarat di Indonesia melalui Tarakan, Minahasa dan Sulawesi, Balikpapan, Ambon, Batavia, dan Bandung. Belanda menyerah kepada tentara Jepang pada 9 Maret 1942.
Sejak itulah, Bangsa Indonesia berada dalam jajahan tentara Jepang dan wilayah Indonesia dibagi menjadi 2 bagian, yaitu pertama: Pulau Jawa dan Sumatera di bawah kekuasaan Angkatan Darat, dan kedua: Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian, dan Nusa Tenggara di bawah kekuasaan Angkatan Laut.
Bangsa Indonesia terus melakukan perlawanan terhadap Jepang dan perlawanan tetap berlanjut sampai tentara Jepang terdesak oleh Sekutu pada 1944-1945. Pada 29 April 1945, pemerintah Jepang membentuk sebuah Badan yang bertugas menyelidiki kemungkinan Indonesia Merdeka. Badan tersebut bernama Dokuritzu Junbi Choosakai atau BPUPKI yang dilantik pada 28 Mei 1945.
BPUPKI melaksanakan persidangan selama dua kali, yaitu pada 29 Mei sampai 1 Juni 1945 dan 10 sampai 17 Juli 1945. Sesuai tugas yang diberikan kepada BPUPKI, penyelidikan usaha-usaha kemerdekaan Indonesia ditingkatkan menjadi mempersiapkan kemerdekaan dengan cara antara lain merumuskan dasar negara sebagai landasan negara untuk negara yang akan dibentuk.
Selain perjuangan yang dilakukan dalam sidang BPUPKI, pejuang Indonesia juga tetap dilakukan melalui gerakan perlawanan di bawah tanah. Setelah BPUPKI menyelesaikan tugas dan melaporkannya kepada pemerintah Jepang, BPUPKI kemudian dibubarkan dan dengan usul BPUPKI dibentuklah PPKI pada 7 Agustus 1945. Pada 14 Agustus 1945, melalui Radio Suara Amerika, diberitakan bahwa Hirosima dan Nagasaki dibom, dan karena kejadian ini Pemerintah Jepang menyerah kepada Sekutu. Bersamaan dengan peristiwa tersebut, tentara Inggris dengan nama South East Asia Command yang bertugas menduduki wilayah Indonesia, menerima penyerahan kekuasaan dari tangan Jepang (Setidjo, Pandji, 2009),
Ketika terjadi kekosongan kekuasaan karena Jepang telah menyerah dan tentara Sekutu belum mendarat di Indonesia, rakyat Indonesia yang diwakili oleh tokoh pejuang bangsa berhasil menyusun naskah Proklamasi di rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda, Jalan Imam Bonjol, Jakarta dan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta. Naskah Proklamasi tersebut disusun oleh Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, dan Mr. Achmad Soebardjo.
Proklamasi merupakan momentum pembebasan dan berakhirnya penjajahan, mengantarkan rakyat Indonesia untuk memulai kehidupan bernegara, dan melanjutkan cita-cita perjuangan sebagai Negara Indonesia yang merdeka.
B. INDONESIA SETELAH KEMERDEKAAN
1. Sejarah Konsep Negara Kesatuan dalam Undang-Undang Dasar
Sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sejarah Bangsa Indonesia dimulai dari sejarah menyusun pemerintahan, politik, dan administrasi negara. Landasan yang dijadikan pijakan adalah konstitusi dan ideologi. Atas dasar tersebut, pada 18 Agustus 1945, diselenggarakan sidang PPKI yang berhasil menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara dan menetapkan Ir. Soekarno sebagai Presiden dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden.
Dalam rapat BPUPKI yang membahas rancangan undang-undang dasar, permasalahan bentuk negara menjadi salah satu pembahasan yang diperdebatkan secara serius. Usulan bentuk negara yang muncul pada waktu itu yaitu negara kesatuan dan negara federal. Namun kemudian disepakati bentuk Negara Indonesia ialah negara kesatuan, sebagaimana tertera dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Pilihan BPUPKI ini tidak lagi dipersoalkan ketika pada 18 Agustus 1945 PPKI menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Soekarno mengulas pemikiran bahwa nasionalisme Indonesia atau negara kesatuan adalah sebuah takdir. Hal ini terungkap dalam pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945, yaitu sebagai berikut: “Allah S.W.T membuat peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan di mana “kesatuan-kesatuan” di situ. Seorang anak kecil pun -jikalau ia melihat peta dunia- ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau di antara 2 lautan yang besar, Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, dan di antara 2 benua, yaitu Benua Asia dan Benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes, Halmahera, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku dan lain-lain pulau kecil di antaranya, adalah satu kesatuan. Demikan pula tiap-tiap anak kecil dapat melihat pada peta bumi, bahwa pulau-pulau Nippon yang membentang pada pinggir timur Benua Asia sebagai golfbreker atau penghadang gelombang lautan Pasifik, adalah satu kesatuan.
Anak kecil pun dapat melihat, bahwa tanah India adalah satu kesatuan di Asia Selatan, dibatasi oleh Lautan Hindia yang luas dan Gunung Himalaya. Seorang anak kecil pula dapat mengatakan, bahwa kepulauan Inggris adalah satu kesatuan.
Griekenland atau Yunani dapat ditunjukkan sebagai satu kesatuan pula. Itu ditaruhkan oleh Allah S.W.T demikian rupa. Bukan Sparta saja, bukan Athena saja, bukan Macedonia saja, tetapi Sparta plus Athena plus Macedonia plus daerah Yunani yang lain-lain -segenap kepulauan Yunani- adalah satu kesatuan.
Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah darah kita, tanah air kita? Menurut geopolitik, maka Indonesialah tanah air kita. Indonesia yang bulat-bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang ditunjuk oleh Allah SWT menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera-itulah tanah air kita!
Maka jikalau saya ingat perhubungan antara orang dan tempat-antara rakyat dan buminy- maka tidak cukuplah definisi yang dikatakan Ernest Renan dan Otto Bauer itu. Tidak cukup le desir d’etre ensemble, tidak cukup definisi Otto Bauer aus Schiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft itu.
Maaf, Saudara-saudara, saya mengambil contoh Minangkabau. Di antara bangsa Indonesia, yang paling ada le desir d’etre ensemble adalah rakyat Minangkabau, yang banyaknya kira-kira 2 milyun.Rakyat ini merasa dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan satu kesatuan, melainkan hanya satu bagian kecil dari satu kesatuan! Penduduk Yogya pun adalah merasa le desir d’etre ensemble, tetapi Yogya pun hanya satu bahagian kecil dari satu kesatuan. Di Jawa Barat rakyat Pasundan sangat merasakan le desir d’etre ensemble, tetapi Sunda pun hanya satu bagian kecil dari satu kesatuan.
Pendek kata, bangsa Indonesia -Natie Indonesia- bukanlah sekadar contoh satu golongan orang yang hidup dengan le desir d’etre ensemble di atas daerah yang kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang menurut geopolitik, yang telah ditentukan oleh Allah SWT, tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatera sampai ke Irian! Seluruhnya! Karena antara 70.000.000 ini sudah ada le desir d’etre ensemble, sudah terjadi Charaktergemeinschaft! Natie Indonesia, bangsa Indonesia, umat Indonesia jumlah orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah menjadi satu, satu, sekali lagi satu!
Ke sinilah kita semua harus menuju: Mendirikan satu Nationale Staat, di atas kesatuan bumi Indonesia dari ujung Sumatera sampai ke Irian. Saya yakin tidak ada satu golongan di antara Tuan-tuan yang tidak mufakat, baik Islam maupun golongan yang dinamakan “golongan kebangsaan”. Ke sinilah kita harus menuju semuanya.
Keinginan bangsa Indonesia untuk membangun sendiri negara yang merdeka dan berdaulat mendapat tantangan besar dari pemerintah Belanda. Pada 1946, secara sepihak Belanda kembali masuk ke Indonesia mengatasnamakan sebagai penguasa yang sah karena berhasil mengalahkan Jepang yang sebelumnya mengambil alih kekuasaan Hindia Belanda (Indonesia) dari Belanda. Menghadapi situasi semacam ini, menggeloralah semangat revolusi kemerdekaan yang mengakibatkan Indonesia yang baru merdeka harus secara fisik berperang melawan Belanda yang ingin merampas kembali kemerdekaan Indonesia. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan tersebut melewati beberapa episode penting yang mengkombinasikan antara perang fisik dan perang diplomasi atau perundingan-perundingan dalam kurun waktu 1945-1949.
Pada 19 Desember 1948, akibat serangan Belanda yang berhasil menguasai Yogyakarta waktu itu dijadikan ibu kota Negara Republik Indonesia, Sidang Kabinet Republik Indonesia yang dipimpin oleh Wakil Presiden Moh. Hatta memutuskan untuk memberikan mandat kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara agar membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), dan seandainya tidak mungkin, supaya menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis yang pada waktu itu berada di luar negeri (New Delhi) untuk menggantikan Mr. Sjafruddin.
Secara serentak Kabinet Hatta mengeluarkan dua surat mandat tentang pembentukan pemerintah darurat di Sumatera, satu untuk Mr Sjafruddin Prawiranegara di Bukit Tinggi, dan satu lagi untuk Mr. A.A. Maramis di New Delhi.
Tanggal 22 Desember 1948, dalam rapat di Sumatera yang dihadiri antara lain oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara, Mr.T. M. Hassan, Mr.S. M. Rasyid, Kolonel Hidayat, Mr.Lukman Hakim, Ir. Indracahya, Ir. Mananti Sitompul, Maryono Danubroto, Direktur BNI Mr. A. Karim, Rusli Rahim, dan Mr. Latif memproklamirkan pemerintah darurat. Pendirian PDRI ini merupakan satu bentuk perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Indonesia terhadap Belanda.
Pemerintah darurat merupakan upaya pengalihan kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia kepada pihak tertentu untuk menjalankan pemerintahan karena pemerintah Indonesia pada masa itu tidak dapat menjalankan fungsi pemerintahan. Hal ini karena pemerintahan yang tengah berlangsung mengalami ketidakkuasaan dalam menjalankan pemerintahan disebabkan adanya agresi Belanda yang berhasil menangkap Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta selaku kepala pemerintahan dan menguasai pusat pemerintahan. Peran pemerintah darurat ini menjadi sentral karena merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah Indonesia yang pada masa itu tidak dapat menjalankan pemerintahan.
Berdirinya pemerintah darurat memiliki satu arti penting, yakni Indonesia masih memiliki eksistensi ketika terjadi penyerangan dan penguasaan yang dilakukan oleh Belanda. Walaupun merupakan pemerintahan hasil pelimpahan kekuasaan dan bersifat sementara, PDRI telah menjadi satu mata rantai sejarah Indonesia yang berhasil membentuk Indonesia. Pada saat berdirinya, PDRI melakukan berbagai upaya perlawanan terhadap Belanda baik melalui jalur militer ataupun melalui jalur diplomasi.
Melalui jalur militer ditandai dengan didirikannya beberapa pangkalan militer dan dilakukannya upaya perlawanan dan gerilya. Dalam bidang diplomasi, pada saat berdirinya, PDRI berhasil dilakukan upaya perundingan antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda, yang salah satu perundingan penting tersebut adalah pembicaraan antara Roem dan Van Roeyen dan telah tercapai suatu kesepakatan antara keduanya itu, yakni Yogya dikembalikan kepada Republik Indonesia, dan kemudian akan diadakan perundingan-perundingan mengenai penyerahan kedaulatan. Setelah selesai perundingan Roem-Royen itu, maka Yogyakarta berhasil dikembalikan, serta Soekarno-Hatta dan menteri-menteri lain yang ditawan dikembalikan ke Yogyakarta.
Dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, Belanda terus merongrong kedaulatan Negara Indonesia. Mempertahankan negara dengan semangat ”sekali merdeka tetap merdeka” dan untuk menghindari jatuhnya korban akibat agresi Belanda, para pemimpin bangsa bersedia melakukan berbagai perundingan. Setelah beberapa kali terjadi pertempuran dan dilakukan perundingan antara Indonesia dengan Belanda, antara lain: Perjanjian Linggar Jati pada 25 Maret 1947, Perjanjian Renville pada 8 Desember 1947, dan Konfrensi Meja Bundar (KMB) pada 23 Agustus 1949, dan puncaknya pada 27 Desember 1949, akhirnya Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia dengan syarat harus berbentuk Negara Serikat.
KMB yang berlangsung di Den Haag pada 23 Agustus sampai 2 November 1949, berhasil mengakhiri konfrontasi fisik antara Indonesia dengan Belanda. Hasil konferensi tersebut yang paling utama adalah ”pengakuan dan penyerahan” kedaulatan dari Pemerintah Belanda kepada Pemerintah Indonesia yang disepakati akan disusun dalam struktur ketatanegaraan yang berbentuk negara federal, yaitu negara Republik Indonesia Serikat.
Di samping itu, terdapat empat hal penting lainnya yang menjadi isi kesepakatan dalam KMB, yaitu: Pertama, pembentukan Uni Belanda- Republik Indonesia Serikat yang dipimpin oleh Ratu Belanda secara simbolis; Kedua, Soekarno dan Moh. Hatta akan menjabat sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia Serikat untuk periode 1949-1950, dengan Moh. Hatta merangkap sebagai perdana menteri; Ketiga, Irian Barat masih dikuasasi Belanda dan tidak dimasukkan ke dalam Republik Indonesia Serikat sampai dilakukan perundingan lebih lanjut; Keempat, Pemerintah Indonesia harus menanggung hutang negeri Hindia Belanda sebesar 4,3 miliar gulden (Natsir, Mohammad, 2008).
Di satu sisi hasil KMB tersebut harus dianggap sebagai sebuah kemajuan karena sejak saat itu, setelah Belanda ”mengakui dan menyerahkan” kedaulatan kepada bangsa Indonesia, secara resmi Indonesia menjadi negara merdeka dan terlepas dari cengkeraman Belanda. Namun di sisi lain, kesepakatan yang dihasilkan dalam KMB tidak serta merta menyelesaikan permasalahan bagi Indonesia, terlebih bentuk negara federal yaitu Republik Indonesia Serikat adalah produk rekayasa van Mook yang suatu saat dijadikan strategi untuk merebut kembali Indonesia melalui politik devide et impera.
Di dalam negeri sendiri juga muncul pergolakan, demonstrasi-demonstrasi dan berbagai mosi di Parlemen menyusul hasil KMB dan perubahan bentuk negara dari kesatuan menjadi federal tersebut. Pergolakan ini muncul sedemikian rupa dan sangat mengancam kelangsungan bangsa dan negara Indonesia yang baru merdeka, sementara pemerintah Republik Indonesia Serikat tampak pasif dan defensif serta tidak mengambil inisiatif untuk mengambil langkah-langkah penyelamatan.
Pemerintah lebih banyak diam dan mengambil sikap pasif dengan berlindung di bawah semboyan klise “semua terserah pada kehendak rakyat”, padahal kalau pergolakan tersebut dibiarkan diselesaikan sendiri oleh rakyat, tanpa bimbingan dan komando dari pemerintah, dapat dipastikan akan menimbulkan perpecahan atau disintegrasi yang dapat menghancurkan keutuhan berbangsa dan bernegara.
Dalam situasi seperti ini, Moh. Natsir tampil dengan mosi yang meminta pemerintah dan seluruh elemen bangsa segera menyelesaikan permasalahan tersebut secara integral. Mosi tersebut kemudian dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir”. Sebenarnya, selain ditandatangani oleh Natsir, mosi ini juga ditandatangani oleh beberapa ketua fraksi di parlemen yaitu: Soebadio Sastrasatomo, Hamid Algadri, Sakirman, K. Werdojo, AM Tambunan, Ngadiman Hardjosubroto, B. Sahetapy Engel, Tjokronegoro, Moch. Tauchid, Amels, dan Siradjudddin Abbas. Tidak pernah ada yang mempersoalkan bila kemudian mosi tersebut kemudian lebih dikenal sebagai Mosi Integral Natsir, karena memang Natsir yang memotori dan mengonsep mosi tersebut yang selanjutnya didukung oleh fraksi-fraksi yang lain.
Dalam mosi tersebut, sesungguhnya tidak ada dorongan secara eksplisit untuk membentuk negara kesatuan, bahkan Natsir sendiri mengatakan bahwa mosi tersebut tak ada kaitannya dengan permasalahan unitarisme (negara kesatuan) dan federalisme (negara federal). Yang digunakan di dalam mosi ini adalah istilah “integral” dalam arti penyelesaian secara menyeluruh dan komprehensif (Natsir, Mohammad, 2008).
Mosi Integral Natsir tertanggal 3 April 1950 merupakan monumen sejarah yang mengantarkan Indonesia kembali menjadi negara kesatuan setelah sempat dicabik-cabik dengan bentuk negara federal (federalisme). Mosi tersebut sangat penting dalam menyelamatkan keutuhan bangsa dan negara pada saat bangsa dan negara terancam oleh disintegrasi yang bermuara pada pembentukan kembali negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan.
Mosi Integral Natsir sebenarnya netral dari kontroversi antara kehendak kembali ke negara kesatuan atau melanggengkan negara federal. Oleh karena itu, pembentukan negara kesatuan bukanlah tujuan langsung dari Mosi yang disampaikan Natsir tersebut.
Natsir mengatakan bahwa maksud mosi yang diajukannya tidak terkait dengan soal bentuk negara kesatuan dan federalisme (bentuk negara federal) melainkan menyangkut masalah yang lebih besar dari itu, yaitu “persatuan” untuk keselamatan Negara Republik Indonesia.
Konsep “integral” (menyeluruh dan komprehensif) atau “persatuan” (integrasi) memang tidak identik dengan “negara kesatuan” melainkan lebih merupakan “persatuan kehendak jiwa atau sikap batin” seluruh warga bangsa untuk tetap bersatu sebagai bangsa Indonesia.
Negara kesatuan adalah konsep ketatanegaraan yang mengatur hubungan kekuasaan (gezagsverhouding) antara Pemerintah Pusat dan Daerah, sedangkan persatuan adalah sikap batin atau semangat kolektif untuk bersatu dalam ikatan kebangsaan dan negara.
Tentang persatuan sikap batin atau kejiwaan ini, sejak awal Bung Karno sebagai founding fathers mengajak bangsa Indonesia untuk memahami dan menyelami konsep yang dibangun oleh Renan seorang pakar dari Prancis, yang mengatakan bahwa bangsa adalah segerombolan atau sekumpulan manusia yang memiliki solidaritas yang tinggi karena adanya kesatuan jiwa (soul) yang ingin bersatu dan bersama. Bangsa Indonesia juga dibangun berdasar konsep tentang bangsa dari Otto Bauer yang mengatakan bahwa bangsa adalah sekumpulan manusia yang memiliki persamaan watak karena adanya persamaan nasib. Dalam pidatonya pada 5 Juli 1958 di Istana Negara, Bung Karno melengkapi teori Renan dan Bauer dengan teori geopolitiknya. Tentang teori geopolitik ini, Bung Karno mengatakan bahwa:
“ ...menurut pendapat saya, yang dikatakan bangsa itu adalah segerombolan manusia yang -kalau mengambil Renan- keras ia punya le desir d’etre ensemble (keinginan, kehendak untuk bersatu), -kalau mengambil Otto Bauer- keras ia punya charaktergemeinschaft (persatuan, persamaan watak yang dilahirkan karena persamaan nasib), tetapi yang berdiam di atas satu wilayah geopolitik yang nyata satu persatuan. Apa wilayah geopolitik yang nyata satu persatuan, satu kesatuan itu, apa?....... Geo dari perkataan geografi, peta gambarnya. Geopolitik ialah hubungan antara letaknya tanah dan air, petanya itu dengan rasa-rasa dan kehidupan politik.”
Disini jelas-jelas Bung Karno mengatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia harus menjadi wadah yang menyatukan seluruh aspek kehidupan nasional meliputi aspek geografi, demografi, sumber kekayaan alam, ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya sampai pertahanan dan keamanan bangsa (Soepandji, Susilo Budi, 2011).
Memperhatikan keadaan negara-negara bagian yang sulit dikoordinasikan dan berkurangnya wibawa pemerintah negara federal selama pelaksanaan konstitusi Republik Indonesia Serikat, rakyat Indonesia sepakat untuk kembali ke bentuk negara kesatuan. Negara Kesatuan adalah pilihan yang dianggap tepat pada saat proklamasi tanggal 17 Agustus 1945.
Pada tanggal 17 Agustus 1950, Indonesia resmi kembali ke negara kesatuan dengan konstitusi UUDS 1950, sebagaimana terdapat pada Pasal 1 ayat (1) UUDS 1950 yang menetapkan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara dengan bentuk kesatuan.
Meskipun sudah menganut kembali bentuk negara kesatuan, namun upaya-upaya untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia masih terjadi, yang ditandai dengan terjadinya beberapa pemberontakan dalam kurun waktu 1950 sampai dengan 1958 antara lain Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil di Bandung pada tanggal 23 Januari 1950, Pemberontakan Andi Azis di Makasar pada tanggal 5 April 1950, pemberontakan Republik Maluku Selatan di Ambon pada tanggal 25 April 1950, pemberontakan Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan pada tanggal 10 Oktober 1950, pemberontakan DI/TII Pimpinan Kahar Mudzakkar di Sulawesi Selatan pada tanggal 17 Agustus 1951, pemberontakan Batalyon 426 di Jawa Tengah pada tanggal 1 Desember 1951, pemberontakan DI/TII Pimpinan Daud Beureuh di Banda Aceh pada tanggal 20 September 1953, peristiwa Dewan Banteng di Sumatera Barat pada tanggal 20 Desember 1956, pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia pada tanggal 15 Februari 1958, serta Perjuangan Rakyat Semesta yang menyatakan membantu Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia pada tanggal 15 Februari 1958 (Syafiie IK. dkk., 1994).
Serangkaian pemberontakan tersebut menyebabkan adanya ketidaksesuaian penyelenggaraan pemerintahan oleh aparat negara, terjadi hubungan yang tidak harmonis antara legislatif dan eksekutif, dan sebagian anggota konstituante ada yang menyatakan tidak bersedia lagi menghadiri sidang pleno konstituante. Keadaan ini yang mendorong Presiden Soekarno menyatakan kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 pada 5 Juli 1959 yang dikenal dengan istilah Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Dekrit Presiden tersebut, meneguhkan kembali bahwa pilihan bentuk negara kesatuan adalah pilihan tepat yang mampu mewadahi keanekaragaman wilayah Indonesia.
2. Konsep Negara Kesatuan Menurut UUD 1945
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengukuhkan keberadaan Indonesia sebagai Negara Kesatuan dan menghilangkan keraguan terhadap pecahnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah memperkukuh prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak sedikit pun mengubah Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi negara federal. Pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mendorong pelaksanaan otonomi daerah untuk lebih memperkukuh Negara Kesatuan Republik Indonesia dan meningkatkan proses pembangunan di daerah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Oleh karena itu, diperlukan adanya pengaturan dalam peraturan perundang-undangan yang komprehensif untuk pelaksanaan otonomi daerah sehingga dapat dilaksanakan sesuai dengan hakikat tujuan pembangunan nasional.
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan naskah asli mengandung prinsip bahwa ”Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik.” Pasal yang dirumuskan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tersebut merupakan tekad bangsa Indonesia yang menjadi sumpah anak bangsa pada 1928 yang dikenal dengan Sumpah Pemuda, yaitu satu nusa, satu bangsa, satu bahasa persatuan, satu tanah air yaitu Indonesia. Penghargaan terhadap cita-cita luhur para pendiri bangsa (The Founding Fathers) yang menginginkan Indonesia sebagai negara bangsa yang satu merupakan bagian dari pedoman dasar bagi MPR 1999-2004 dalam melakukan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Wujud Negara Kesatuan Republik Indonesia semakin kukuh setelah dilakukan perubahan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dimulai dari adanya kesepakatan MPR yang salah satunya adalah tidak mengubah Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bentuk final negara bagi bangsa Indonesia.
Kesepakatan untuk tetap mempertahankan bentuk negara kesatuan didasari pertimbangan bahwa negara kesatuan adalah bentuk yang ditetapkan sejak awal berdirinya negara Indonesia dan dipandang paling tepat untuk mewadahi ide persatuan sebuah bangsa yang majemuk ditinjau dari berbagai latar belakang (dasar pemikiran).
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara nyata mengandung semangat agar Indonesia ini bersatu, baik yang tercantum dalam Pembukaan maupun dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar yang langsung menyebutkan tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam lima Pasal, yaitu: Pasal 1 ayat (1), Pasal 18 ayat (1), Pasal 18B ayat (2), Pasal 25A dan pasal 37 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta rumusan pasal-pasal yang mengukuhkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keberadaan lembaga-lembaga dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Prinsip kesatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dipertegas dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam upaya membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Pembentukan pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia itu bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tujuan tersebut bisa dicapai hanyalah dengan adanya kemerdekaan bagi bangsa Indonesaia, sehingga dalam alinea keempat ini secara tegas diproklamirkan, disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam satu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbentuk dalam satu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Pancasila.
Dengan menyadari sepenuhnya bahwa dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan dasar dalam berdirinya bangsa Indonesia dalam Negara Kesatuan, Pembukaan tersebut tetap dipertahankan dan dijadikan pedoman.
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan naskah asli yang tidak dilakukan perubahan karena merupakan bagian dari komitmen MPR untuk tetap mempertahankan Negara Kesatuan dalam bentuk Negara Republik Indonesia sehingga pasal ini mengayomi pula keberadaan pasal-pasal selanjutnya dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahkan dalam Pasal 37 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditegaskan pula bahwa, hanya bentuk Negara Kesatuan saja yang tidak dapat dilakukan perubahan dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan tidak dilakukannya perubahan tersebut semakin memperkukuh bentuk Negara Kesatuan sebagai bentuk final dan menghilangkan kekhawatiran sebagian masyarakat agar Indonesia tidak menjadi negara federal.
Negara Kesatuan Republik Indonesia itu adalah negara yang memiliki satu kesatuan teritori (sesuai dengan UNCLOS 1982) dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai pulau Rote, satu kesatuan bangsa yang disebut bangsa Indonesia (Sumpah Pemuda 1928), satu kesatuan kepemilikan sumber kekayaan alam yang peruntukannya sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat, satu kesatuan ideologi negara yaitu ideologi Pancasila, satu kesatuan politik nasional yang harus selalu berpihak pada kepentingan nasional (national interest), satu kesatuan perekonomian nasional yang harus selalu berpihak pada upaya mensejahterakan rakyat Indonesia, satu kesatuan budaya nasional yang memiliki jati diri Indonesia sebagai karakter nasional dan sistem pertahanan keamanan nasional yang khas menurut kharakteristik Indonesia, itulah makna yang dalam dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (Soepandji, Susilo Budi, 2011).
Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menetapkan “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, kota itu mempunyai pemerintahan dan, yang diatur dengan undang-undang.” Dari Pasal ini teridentifikasi bahwa prinsip penulisan Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk menunjukkan bahwa Negara Kesatuan tidak bisa diubah yang merupakan suatu tekad yang tidak bisa ditawar sama sekali. Negara Kesatuan Republik Indonesia dinyatakan dibagi atas bukan terdiri atas. Kalimat “dibagi atas” menunjukkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia tersebut adalah satu, setelah itu baru kemudian dibagi atas daerah-daerah, sehingga Negara Kesatuan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Meskipun Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah dibagi, dia merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan bahkan dimungkinkan untuk ditarik kembali apabila ada yang ingin mencoba memisahkan diri dari kesatuannya. Kalimat ”dibagi atas provinsi dan provinsi dibagi atas kabupaten dan kota” adalah sebagai wujud pengukuhan dari pengakuan otonomi daerah yang diberikan pengakuan memiliki pemerintahan sendiri yakni pemerintahan daerah namun tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketentuan pasal ini merupakan entry point (pintu masuk atau sebagai dasar) pelaksanaan otonomi daerah dalam rangka mempererat kembali keutuhan daerah-daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga tidak ada lagi perbedaan pendapat terhadap bentuk negara Indonesia sebagai negara kesatuan.
Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan–kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat, dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang.”
Pasal ini memberikan tempat dan menghormati keberadaan masyarakat hukum adat berserta hak-hak tradisionalnya yang memang sudah ada sejak lama bahkan masih hidup di tengah-tengah masyarakat setempat, akan tetapi masyarakat hukum tersebut dengan hak-hak tradisionalnya itu tidak boleh dijadikan sebagai alasan untuk menegakkan negara sendiri mengingat masyarakat hukum adat tersebut sangat besar dan berlainan dengan masyarakat hukum adat di daerah lainnya. Pengakuan dan penghormatan negara tersebut justru dalam rangka memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 25A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menetapkan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.”
Adanya ketentuan ini dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dimaksudkan untuk mengukuhkan kedaulatan wilayah Negara Kesatuan. Hal ini penting dirumuskan agar ada penegasan secara kons-titusional batas wilayah Indonesia di tengah potensi perubahan batas geografis sebuah negara akibat gerakan separatisme, sengketa perbatasan antarnegara, atau pendudukan oleh negara asing.
Berkaitan dengan wilayah negara Indonesia, pada 13 Desember 1957 pemerintah Indonesia mengeluarkan Deklarasi Djuanda. Deklarasi itu menyatakan: “Bahwa segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk dalam daratan Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya, adalah bagian yang wajar dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan pedalaman atau perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia. Penentuan batas laut 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik terluar pada pulau-pulau Negara Republik Indonesia akan ditentukan dengan Undang-undang.”
Sebelumnya, pengakuan masyarakat internasional mengenai batas laut teritorial hanya sepanjang 3 mil laut terhitung dari garis pantai pasang surut terendah.
Deklarasi Juanda menegaskan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan wilayah Nusantara. Laut bukan lagi sebagai pemisah, tetapi sebagai pemersatu bangsa Indonesia. Prinsip ini kemudian ditegaskan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia.
Berdasarkan Deklarasi Juanda tersebut, Indonesia menganut konsep negara kepulauan yang berciri Nusantara (archipelagic state). Konsep itu kemudian diakui dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (UNCLOS 1982 = United Nations Convention on the Law of the Sea) yang ditandatangani di Montego Bay, Jamaika, tahun 1982. Indonesia kemudian meratifikasi UNCLOS 1982 tersebut dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985. Sejak itu dunia internasional mengakui Indonesia sebagai negara kepulauan. Berkat pandangan visioner dalam Deklarasi Djuanda tersebut, bangsa Indonesia akhirnya memiliki tambahan wilayah seluas 2.000.000 km2, termasuk sumber daya alam yang dikandungnya.
Pada saat membahas materi rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengenai wilayah negara ini, sebenarnya timbul keinginan untuk mempergunakan penyebutan Benua Maritim Indonesia untuk pengenalan wilayah Indonesia seperti yang telah dideklarasikan oleh pemerintah pada 1957. Hal itu tidaklah berlebihan mengingat ada klaim penyebutan Benua Antartika untuk Pulau Antartika yang berada di Kutub Selatan.
Dengan adanya ketentuan mengenai wilayah negara tersebut, pada masa mendatang kemungkinan pemisahan sebuah wilayah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak akan terjadi. Demikian pula hal itu akan mendukung penegakan hukum di seluruh wilayah tanah air, dalam melakukan perundingan internasional yang berkaitan dengan batas wilayah negara Indonesia, serta pengakuan internasional terhadap kedaulatan wilayah negara Indonesia.
Kesadaran bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar, mengingat besarnya jumlah penduduk, sumber daya alam yang melimpah, serta luasnya wilayah pasti akan memberikan kepercayaan diri yang besar.
Sumber : Buku "Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara"
Bab IV Halaman 137 s/d 168.
PANCASILA
Pancasila adalah ideologi dasar bagi Negara Indonesia. Nama ini terdiri dari dua kata dari Sanskerta: pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lima sendi utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan tercantum pada paragraf ke-4 Preambule (Pembukaan) Undang-Undang Dasar 1945.
Meskipun terjadi perubahan kandungan dan urutan lima sila Pancasila yang berlangsung dalam beberapa tahap selama masa perumusan Pancasila pada tahun 1945, tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila.Sejarah Perumusan
Dalam upaya merumuskan Pancasila sebagai dasar negara yang resmi, terdapat usulan-usulan pribadi yang dikemukakan dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yaitu :
- Lima Dasar oleh Muhammad Yamin, yang berpidato pada tanggal 29 Mei 1945. Muhammad Yamin merumuskan lima dasar sebagai berikut: Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Dia menyatakan bahwa kelima sila yang dirumuskan itu berakar pada sejarah, peradaban, agama, dan hidup ketatanegaraan yang telah lama berkembang di Indonesia. Mohammad Hatta dalam memoarnya meragukan pidato Yamin tersebut.[1]
- Panca Sila oleh Soekarno yang dikemukakan pada tanggal 1 Juni 1945 dalam pidato spontannya yang kemudian dikenal dengan judul "Lahirnya Pancasila". Sukarno mengemukakan dasar-dasar sebagai berikut: Kebangsaan; Internasionalisme; Mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan; Kesejahteraan; Ketuhanan. Nama Pancasila itu diucapkan oleh Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni itu, katanya:
Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa - namanya ialah Pancasila. Sila artinya azas atau dasar, dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.
Setelah Rumusan Pancasila diterima sebagai dasar negara secara resmi beberapa dokumen penetapannya ialah :
- Rumusan Pertama : Piagam Jakarta (Jakarta Charter) - tanggal 22 Juni 1945
- Rumusan Kedua : Pembukaan Undang-undang Dasar - tanggal 18 Agustus 1945
- Rumusan Ketiga : Mukaddimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat - tanggal 27 Desember 1949
- Rumusan Keempat : Mukaddimah Undang-undang Dasar Sementara - tanggal 15 Agustus 1950
- Rumusan Kelima : Rumusan Kedua yang dijiwai oleh Rumusan Pertama (merujuk Dekrit Presiden 5 Juli 1959)
Hari Kesaktian Pancasila
Pada tanggal 30 September 1965, terjadi insiden yang dinamakan Gerakan 30 September (G30S). Insiden ini sendiri masih menjadi perdebatan di tengah lingkungan akademisi mengenai siapa penggiatnya dan apa motif dibelakangnya. Akan tetapi otoritas militer dan kelompok reliji terbesar saat itu menyebarkan kabar bahwa insiden tersebut merupakan usaha PKI mengubah unsur Pancasila menjadi ideologi komunis, untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia dan membenarkan peristiwa Pembantaian di Indonesia 1965–1966.
Pada hari itu, enam Jenderal dan berberapa orang lainnya dibunuh oleh oknum-oknum yang digambarkan pemerintah sebagai upaya kudeta. Gejolak yang timbul akibat G30S sendiri pada akhirnya berhasil diredam oleh otoritas militer Indonesia. Pemerintah Orde Baru kemudian menetapkan setiap tanggal 30 September sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September G30S dan tanggal 1 Oktober ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila.
Butir-butir Pengamalan Pancasila
Ketetapan MPR Nomor II / MPR / 1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila / P4 (Ekaprasetia Pancakarsa) menjabarkan kelima asas dalam Pancasila menjadi 36 butir pengamalan sebagai pedoman praktis bagi pelaksanaan Pancasila.
36 BUTIR-BUTIR PANCASILA/EKA PRASETIA PANCA KARSA
A. SILA KETUHANAN YANG MAHA ESA
- Percaya dan Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
- Hormat menghormati dan bekerjasama antar pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup.
- Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
- Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.
B. SILA KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB
- Mengakui persamaan derajat persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.
- Saling mencintai sesama manusia.
- Mengembangkan sikap tenggang rasa.
- Tidak semena-mena terhadap orang lain.
- Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
- Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
- Berani membela kebenaran dan keadilan.
- Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.
C. SILA PERSATUAN INDONESIA
- Menempatkan kesatuan, persatuan, kepentingan, dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan.
- Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.
- Cinta Tanah Air dan Bangsa.
- Bangga sebagai Bangsa Indonesia dan ber-Tanah Air Indonesia.
- Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
D. SILA KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAT KEBIJAKSANAAN DALAM PERMUSYAWARATAN / PERWAKILAN
- Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
- Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
- Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
- Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi semangat kekeluargaan.
- Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil musyawarah.
- Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
- Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
E. SILA KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA
- Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan gotong-royong.
- Bersikap adil.
- Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
- Menghormati hak-hak orang lain.
- Suka memberi pertolongan kepada orang lain.
- Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain.
- Tidak bersifat boros.
- Tidak bergaya hidup mewah.
- Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum.
- Suka bekerja keras.
- Menghargai hasil karya orang lain.
- Bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.
Ketetapan ini kemudian dicabut dengan Tap MPR Nomor I / MPR / 2003 dengan 45 butir Pancasila.
Sila Pertama
![]() |
Bintang |
- Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
- Manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
- Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
- Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
- Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
- Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
- Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.
- Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
- Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.
- Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
- Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira.
- Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
- Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
- Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
- Berani membela kebenaran dan keadilan.
- Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.
- Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.
Sila Ketiga
- Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
- Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan.
- Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.
- Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.
- Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
- Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
- Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.
- Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama.
- Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
- Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
- Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
- Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah.
- Dengan iktikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
- Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
- Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
- Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
- Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan pemusyawaratan.
- Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
- Mengembangkan sikap adil terhadap sesama.
- Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
- Menghormati hak orang lain.
- Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri.
- Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang lain.
- Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah.
- Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum.
- Suka bekerja keras.
- Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama.
- Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.
Langganan:
Postingan (Atom)